Prof.Dr.AGM. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan
Tanggung Jawab Kita
Jakarta (PT Gramedia) 1985, 157 hlm
Bab I : Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya;
hlm 1-17;
Bab II : Keanekaragaman Ilmu Pengetahuan; hlm
20-47;
Bab III : Ilmu – ilmu teoritis dan praktis; hlm
49-65;
Bab IV : Tanggung Jawab; hlm 68-80
Bab V : Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan; hlm 85-102;
Bab VI : Tujuan Ilmu Pengetahuan Dan Praktis; hlm
104-117;
Bab VII : Kerja Sama Antara Ilmu-ilmu; hlm 120-138;
Bab VIII :Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan; hlm
141-149.
[I. ILMU PENGETAHUAN DAN
PERKEMBANGANNYA]
1.
Dari
banyak menjadi satu
1 : Salah satu kesulitan terbesar dalam merefleksi
tentang ilmu pengetahuan adalah keanekaragaman ilmu pengetahuan itu.
1
-2 : Ilmu
pengetahuan timbul sebagai usaha untuk secara metodis dan sistematis mencari
azas-azas yang mengijinkan untuk memahami kesatuan. Sejarah ilmu pengetahuan
memperlihatkan tendensi yang sama untuk mencari azas-azas yang menjamin
kesatuan.
2.
Banyak
ilmu
3 :
Terdapat banyak ilmu yang masing-masing memetakan realitas dengan caranya
sendiri, tampa mempersatukan semua peta itu menjadi pandangan menyeluruh
tentang realita.
3. Hubungan antara ilmu pengetahuan
dan masyarakat : dulu dan sekarang
4-5 : Dahulu
ilmu pengetahuan praktis tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Kegiatan
ilmiah tidak bertujuan mempermudah urusan atau meningkatkan taraf hidup
jasmani. Ilmu pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari menurut
segala aspeknya.
4.
Apa
sebabnya kegunaan ilmu pengetahuan ditemukan
7
: Perkembangan
ilmu pengetahuan – dari ilmu pengetahuan yang semata-mata rasional lewat ilmu
pengetahuanyang bersifar rasional-empiris menuju ilmu pengetahuan yang bersifat
rasionak eksperimantal – yang mengakibatkan ditemukannya kegunaan ilmu
pengetahuan. Dengan sendirinya tehnik juga mendapat kemungkinan impuls baru.
Ilmu pengetahaun – dan oertama-tama ilmu pengetahuan alam- mulai mengabdi
kepada tehnik dan ikut serta dalam kegunaannya.
5.
Sifat
progresif ilmu pengetahuan dewasa ini
7 : Pengetahuan kita semakin tepat dan semakin
mendalam diduga adanya potensi baru yang selalu harus diuji dengan sifat
progresif pengetahuan. Sebelum timbulnya ilmu pengetahuan yang bersifat
eksperimental aspek progresif ilmu pengetahuan itu hampir tidak dilihat.
6.
Tempat
“ prima principia “ dalam filsafat ilmu pengetahuan yang klasik
8-9 : Prima principia, prisip-prinsip
fundamental dari ilmu pengetahuan, terbuka bagi rasio. Ilmu pengetahuan dapat
berkembang tetapi tidak menarik dari pada konsekuensi baru dari apa yang sudah
dikenal. Yang dianggap penting ialah mendefinisaikan benda ilmiah menjadi
obyek penelitian ilmiah. Dengan cara
demikian benda dapat dikaitkan dengan prinsip atau dalil yang diturunkan dari
prinsip termasuk menurut kodratnya.
7.
Kedudukan
“ prima principi” yang telah berubah
12 : Prinsip-prisip
sekali-kali tidak ditentukan hanya dengan memandang realita secara rasional.
Prinsip itu harus ditemukan menurut prosedur yang komplek bekerjasama
obserfasi, induksi, konstruksi teoritis, deduksi logis, dan pengujian
eksperimental.
8.
Alasan
mengapa timbulnya ilmu alam begitu lambat
13 : Karena
teori ilmu alam diperlukan dahulu untuk dapat memperoleh pandangan tepat
tentang gejala dan mengadakan eksperimen dengan cara pengetahuan diperluas.
9.
Pembagian
klasik dari ilmu pengetahuan
14 : Pembagian
ilmu praktis mengikuti sifat-sifat praktis yang bersangkutan. Etika menyangkut
tindakan yang tepat, potika menyangkut produksi yang tepat, logika menyangkut
argumentasi yang tepat
10. Pembauran antara ilmu dan seni
16-17 : Perkembangan
paling tepat digambarkan sebagai menghilangnya perbedaan antara ilmu dan seni.
Apa yang dulu termasuk seni dapat dipersatukan menjadi satu ilmu. Pengetahuan
tertuju pada perbuatan, telah berpindah ke pengetahuan ilmiah.
11. Sebab-musabab spesialisasi
18-19 : Masih
ada ciri seni yang berpindah ke ilmu pengetahuan, yakni spesialisasi.
Spesialisasi yang semakin bertambah tidak akan dimengerti, seandainya ilmu alam
dikemudian hari bekerja menurut metode yang sama seperti ilmu malam yang lama.
Spesialisasi justru harus timbul supaya tendensi ilmu pengetahuan yang
universal dapat diwujudkan dan dapat disintetisir. Spesialisme berkaitan dengan
ilmu pengetahuan yang berbeda karena didasarkan atas sikap pemikiran yang sangat berlainan.
[II. KEANEKARAGAMAN ILMU PENGETAHUAN; hlm 20-47]
1.
Terpecahnya
kesatuan
20-22 : Filsafat
telah nenyajikan suatu teori ilmu pengetahuan dab setiap ilmuan telah
diperkenalkan dengan teori itu. Karena itu ia mempunyai suatu pandangan
menyeluruh tentang sifat ilmiah pada umumnya, sekalipun ia bukan ahli di semua
bidang ilmiah. Keadaan itu berubah, ketika ada ilmu-ilmu lain yang mencapai
kematangannya: ilmu sejarah , ekonomi, sosiologi, psikologi, ilmu bahasa dan
sebagainya. Ketika ilmu mulai menginsafi perbedaan dengan ilmu alam secara
intensif mulai mempelajari perbedaan antara Geisteswissenschaften
dan Naturwissenschaften. Dan ilmu
masih mencari metode yang serasi.
2.
Alasan
keanekaragaman ilmu pengetahuan
23-25 : Ilmu
pengetahuan budaya maupun ilmu pengetahuan alam dapat membahas manusia, tetapi
menurut sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap ilmu sebetulnya membahas seluruh realitas, tetapi selalu menurut
sudut pandang yang tertentu. Yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah setiap ilmu
berusaha melukiskan kenyataan menurut suatu sistem konsep yang sejenis dan
bertautan satu sama lain.
3.
Ilmu
alam
26-30 : Ciri
khas (1) melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan regristrasi inderawi yang langsung. (2)
menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan grjala alam yang diregristrasi
dalam eksperimen “campur tangan” (3)
mengandaikan pada suatu determinisme. Benda alam tidak boleh bereaksi menurut
sifatnya yang spesifik. Karena ilmu alam dapat menuntut bahwa setiap eksperimen
pada prinsipnya dapat diulngi. (4)Ilmu
alam agak jauh dari pengalaman konkrit memang sesuai dengan kenyataan bahwa ilmu ini bersifat eksak. (5) Ilmu
meregristasi data-data pengamatan
sehingga menpunyai “isi” yang univok
yang diberikan oleh regristrasri instrumental.
4.
Ilmu
sejarah
31-36 : Manusia
sebagai subyek perbuatannya tercantum
dalam obyek sejarah sebagai ilmu. Sejarah ilmu alam tidak merupakan pokok
pembicaraan bagi ilmu alam itu sendiri, sedang sejarah mengenai ilmu sejarah
betul-betul termasuk obyek ilmu sejarah. Ilmu sejarah lebih bersifat meta-esksak dari pada non-eksak. Perhatiannya secara khusus
diarahkan kepada perkembangan yang bersifat unik, dimasa lampau maupun masa
sekarang. Ilmu sejarah tidak bisa vmengadakan eksperimen. Perbandingan kejadian
historis kerapkali memungkinkan analisa. Perbuatan historisnya manusia
merealisasikan tujuan tertentu secara sadar. Manusia adalah pelaku aktif dalam sejarah yang ikut menentukan jalannya sejarah dengan
pertimbangan, tujuan, dana perbuatannya sendiri.
5.
Ilmu-ilmu
manusia
37-41 : Ilmu-ilmu
manusia disebut ilmu tingkah laku (behavioral
sciences) atau ilmu sosial iatilah Jerman Geisteswissenschaften atau “ ilmu
buudaya” atau “ ilmu kultural”. Konsep-konsepyang digunakan ilmu manusia lebih
bersifat analog dari pada univok. Keinginan untuk mengerti tingkah laku manusia
dengan baik dengan pertimbangan : (1) pengertian tentang tingkah laku terbatas
sekalipun menyangkut diri kita sendiri (2) ‘gensi” manusia mempunyai pengertian
terhadap diri sendiri. Karena manusia termasuk obyek ilmu manusia , maka ilmu
manusia akan terbentur pada masalah obyektifitas lebih tajam dari pada ilmu
alam.
6.
Ilmu-ilmu
non-empiris
42 : Ilmu
disebut non-empiris, bila tidak bermaksud menyelidiki secara sistematis
data-dat konkrit itu sendiri.
7.
Matematika
43-44 : Matematika
merupakan ilmu non-empiris, tidak bertentangan dengan kenyataan dilihat dari
perkembangan historisnya. Matematika telah melepaskan lebih lanjut ikatan
dengan realitas empiris itu. Matematika dalam bentuk abstrak masih tetap sangat
penting bagi ilmu-ilmu empiris. Matematika
sebagai basis mutlak perlu”struktur pengulangan” yang merupakan struktur
dasar realitas jasmani.
8.
Filsafat
45-47 : Tugas
filsafat adalah menyelidiki metode dengan prinsi-prinsip apa. Prinsip yang menentukan adalah fakta-fakta eksperimental merupakan
suatu prinsip yang tidak menyangkut isi ilmu alam melainkan metodenya. Itulah suatu
prinsip metodis yang disebut prinsip konstitutif. Kebanyakan ilmu berasal
dari filsafat menurut dua segi yang sepadan dengan pembedaan antara dua macam
prinsip ilmu pengetahuan , yang menyangkut isi dan konstitutif. Kendatipun
filsafat bersifat non empiris , namun harus menghadap pengalaman yang kentara
dalam perkembangan kemungkinan manusiawi.
9.
Kata
penutup
48 : Semua
ilmu yang diuraikan dalam bab ini
tergolong diantara apamyang dalam teori ilmu pengetahuan klasik disebut ilmu
pengetahuan teoritis, artinya ilmu-ilmu yangb ditujukan pada pengetahuan dan
tidak langsung pada praktis. Ilmu alam, ilmu sejarah, ilmu manusia, matematika,
dan filsafat sampai sekarang hanya diselidiki sejauh mereka mampelajari realitas
dengan cara yangbberbeda.
[III. ILMU –ILMU TEORITIS DAN PRAKTIS]
1.
Pendahuluan
49-50 : Apakah
kebertautan antara teori dan praktis yang begitu kuat dibidang ilmu alam,
terdapat pada semua ilmu?
2.
Penisbian
terhadap pembedaan klasik antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis.
51 : Alasan
sebenarnya mengapa perbedaan antara ilmu pengetahuan teoritis dan ilmu
pengetahuan praktis begitu dinisbikan terletak dalam pengalaman bahwa
penelitian ilmiah murni yang diadakan semata-mata untuk menambah pengetahuan,
lambat laun menghantar kita kepada penerapan-penerapan praktis yang lebih luas
dan lebih berdampak dari pada penelitian yang langsung ditujukan pada
penerapan.
3.
Perbedaan
antara ilmu pengetahuan toeritis dan ilmu pengetahuan praktis menurut bentuk sekarang
ini
52-58 : Ilmu
teoritis memandang realita dengan cara yang tertentu baik menyangkut pengamatan
maupun sarana, ditentukan oleh rentetan permasalahan yang muncul didalam ilmu
mempengaruhi sifat penerapan ilmu. Ilmu praktis
cara memandang yang bersifat abstrak . Tidak ada ilmu yang menguasai
realita konkrit dalam keseluruhannya. Kesulitannya (1) tidak semua ilmu
berkembang sejauh itu (2) yang menghalang-halangi kerjasama antarai lmu-ilmu
mempunyai dasar lebih dalam lagi. Perbedaan tampak disatu pihak terdapat
sekelompok ilmu-ilmu teoritis yang dalam penelitiannya terpimpin oleh
permasalahannya sendiri. Di lain pihak terdapat
sekelompok ilmu yang sengaja bertolak dari kebutuhan praktis dengan maksuk
eksplisit mencari pemecahan bagi masalah.
4.
Ilmu
multidisipliner, interdisipliner, dan monodisipliner
59-62 : Tidak
boleh disimpulkan ilmu praktis dapat dipertentangkan dengan ilmu teoritis
sebagai ilmu multidisipliner terhadap ilmu monodisipliner. Dalam hal ini lebih
menggunakan istilah multidisipliner dari pada interdisipliner, karena
kenyataanya berlangsung adalah
“interdisipliner’’ nampaknya lebih pada tempatnya, jika yang terlibat
adalah teori-teori yang mampu memecahkan problem fundamental dari ilmu yang
sangat berbeda. Maka dari itu usaha pendekatan multidisipliner yang ditimbulkan
oleh kebutuhan konkrit, dalam jangka pendek tidak begitu mudah menghantar kita
kepada tujuan yang dimaksudkan.
Betapapun besar kebutuhan itu, usaha ilmu “murni” pada akhirnya tampak sebagai
satu-satunya jalan yang cepat untuk dapat maju.
5.
Kebertautan
teori dan praktis berlaku umum
63-64 : Tidak
dapat diragukan lagi, ilmu sejarah mampu mengadakan sintesa. Sebab, ilmu itu
berusaha memberikan suatu gambaran menyeluruh
tentang masa lampau. Filsafat sebagai theoria
dan etika sebagi praxis secara
instrinsik berkaitan satu sama lain. Denagan demikian melalui refleksinya atas
kodrat dan tugas manusia kiranya filsafat pun dapaat berperan sebagai pembawa
sintesa dalam proses mengadakan integrasi antara ilmu-ilmu bersama sudut
pandang dan tujuan khusus mereka.
6.
Ciri
khusus yang menandai semua ilmu
65-67 : Ilmu
pengetahuan secara metodis haarus
mencapai suatu keseluruhan yang secara
logis koheren. Itu berarti adanya sistem adanya penelitian(metode) maupun
dalam hasil(susunan logis). Ilmu
pengetahuan harus tanpa pamrih. Dengan caranya sendiri ilmu sejarah akan
mencari yang universal tidak berarti”dapat diulangi” namun menunjukkan hal yang
unik yang secara genetis. Agar obyektifitas terjamin sebaik mungkin ilmu
pengetahuan harus memenuhi tuntutan intersubyektifitas, harus dapat diferifikasi, dan dapat dikomunikasi.
Tuntutan modern yang berlaku bagi ilmu pengetahuan yaitu menyebut profresivitas
ilmu pengetahuan. Yang berkaitan erat dengan progresivitas adalah sikap kritis.
Ilmu pengetahuan senantiyasa maju, senantiyasa membuka wilayah baru, selalu
yang digarap selalu dapat direvisi. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan.
[IV. TANGGUNG JAWAB]
1.
Tanggung
jawab dan kausalitas
68-69 : “Bertanggung
jawab atas” menunjukkan hubungan kausalitas: subyek bertanggung jawab dianggap sebagai penyebab salah satu akibat
yang telah atau sebagai penyebab terjadinya suatu akibat. Tanggung jawab ilmu
pengetahuan atas masa depan, tentu pertama-tama menyangkut usaha agar segala
sesuatu yang tergantung oleh campur tangan ilmu pengetahuan akan dipulihkan
kembali.Pengetahuan menemukan bahwa orde alam
dan masyarakat dapat diubah, maka menjadi tanggungjawabnya menjaga agar yang
akan diwujudkan adalah orde yang paling baik. Tanggung jawab menimbulkan
problem etis yang menyangkut ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada tapi tidak terjadi secara
otomatis.
2.
Tanggung
jawab yang semakin besar
71 : Yang
menandai hakekat manusia ialah bahwa hakekat itu serentakmerupakan titik tolak
bagi aktivitsia dan serentak juga titik
tujuannya : apa yang harus diwujudkan melalui akivitas itu. Tanggung jawab
manusia betul-betul terbatas, dalam arti bahwa manusia tidak bertanggung jawab
atas tanggung jawab yang ditemukan pada jalannya.
72 : Tanggung jawab ilmu pengetahuan tidak saja
menyangkut penerapan etis yang tepat dari ilmu pengetahuan yang sekarang begitu
praktis sifatnya. Ilmu pengetahuan bertanggung jawab juga untuk menemukan sikap
etis yang tepat, sesuai dengan apa yang dalam perkembangan ilmu pengetahuan
diajarkan tentang manusia.
3. Keinsafan etis dan kewajiban etis
73 : Manusia tidak menciptakan tanggung jawab,
tetapi membacanya. Maksudnya, Membaca tanggung jawabnya pada kodratnay sebagai manusia,
artinya sebagai mahluk di mana – sejauh mungkin – materialitas tunduk pada roh.
73: Kewajiban etis selalu menyadari adanya
ketegangan antara yang seharusnya ada dan yang pada kenyataannya ada.
73-74 : Keinsafan
etis menyangkut juga ketegangan yang seharusnya ada dan yang pada kenyataannya
ada, tapi dalam suatu kerangka lebih luas. Sebab, keinsafan etis itu tidak
menyangkut apa yang seharusnya ada begitu saja, melainkan apa yang sebetulnya
seharusnya ada seandainya kemungkinan-kemungkinan realitas lain daripada
keadaan yang nyata.
74-75
: Yunani, tugas dan tanggung jawab pertama
ilmu pengetahuan adalah merealisasikan tempat manusia dalam alam. Hakekat
manusia sudah dianggap bukan saja sebagai suatu data , melainkan juga suatu
tugas, yaitu tugas untuk mewujudkan hakekatnya sendiri. Perbedaan dulu dan
sekarang adalah terjadinya pergeseran mengenai apa yang tampak sebagai data dan
apa yang harus direalisasikan.
4. Lingkaran setan yang menandai etika
76 : Keadaan
lingkaran setan artinya adanya pertautan antara filsafat yang berusaha menjawab pertanyaan siapa dan apa manusia itu
dan etika yang berusaha menerjemahkan
jawaban itu ke dalam suatu sikap hidup dan praksis di mana manusia
sungguh-sungguh menjadi siapa dan apa adanya.
77 : Salah
satu perbedaan penting antara ilmu alam dan ilmu manusia adalah bahwa pada ilmu
manusia kategori-kategori dasar sudah dikenal. Filsafat dan etika sesuai dengan
ilmu-ilmu manusia. Sejauh menyangkut filsafat , dapat kita saksikan bahwa
pergeseran-pergeseran fundamental tentang hakekat manusia dan hubungannya
dengan alam tetap tinggal dalam perbatasan konsepsi-konsepsi dasar yang asli.
78-79 : Kepekaan
untuk dimensi etis ini mengandaikan juga pengertian tntang cara berfungsinya
dimensi etis dalam perkembangan dinamis dari praksis.
80 : Yang
menandai perkembangan –perkembangan ilmu pengetahuan secara khusus ialah bahwa
perkembangan-perkembangan itu tidak diakibatkan suatu keinginan terarah untuk
menjembatani kesenjangan antara
kewajiban etis dan keinsafan etis, sumbernya kerap kali adalah
tujuan-tujuan lain.
5.
Masalah
prioritas
a.
Ilmu
pengetahuan murni versus ilmu pengetahuan terapan
80: Ilmu pengetahuan murni membawa kita pada
pemecahan yang jauh melebihi penelitian yang berorientasi praktis. Prioritas
ilmu pengetahuan murni ini berlaku di
bidang ilmu alam dan teknologi yang terbatas itu, tapi ada alasan kuat untuk
mengandaikan bahwa keberlakuannya umum.
b.
Ilmu
alam versus ilmu manusia
80: Pada awalnya
ilmu pengetahuan merupakan hal yang hampir semata-mata intelektual,
perkembangannya berlangsung ke arah suatu ilmu pengetahuan eksperimental di mana praksis menjadi bagian integral dari
proses memperoleh dan menguji pengetahuan.
c. Ilmu-ilmu refleksif versus
ilmu-ilmu nonrefleksif
81-82 : Istilah “positif ” dalam sebutan “ilmu positif
“berarti bahwa ilmu bersangkutan membahas fakta-fakta, sebagaimana terjadi
ilmu-ilmu yang didasarkan pada pengalaman(ilmu-ilmu empiris). Salah satu ciri
khas suatu ilmu positif adalah sifat nonrefleksifnya, dalam arti bahwa ada
ilmu-ilmu di mana refleksi tidak memegang peranan.Setiap ilmu mewmpunyai salah
satu bentuk refleksivitas, sejauh mempunyai suara aspek teoritis.
83:
Keinginan untuk menerapkan prioritas berasal dari kesadaran bahwa ilmu
pengetahuan bertanggungjawab atas perubahan –perubahan dalam masyarakat,
biarpun pada mulanya ilmu pengetahuan tidak tertuju pada hal itu, terdapat juga
kesadaran bahwa tanpa usaha ilmiah lebih lanjut manusia tidak mampu untuk
menanggulangi efek-efek sampingan kurang baik dari perubahan-perubahan yang
ternyata mungkin ke arah yang diin ginkan.
84: Ilmu pengetahuan harus bebas dari semua “noda”
dari luar, harus voraussetzungslos (= tanpa perandaian), sebagaimana dikatakan
dalam bahasa Jerman, tidak terikat pada dogma apapun, pendeknya harus bebas
nilai.
[V.
BEBAS NILAI DALAM ILMU PENGETAHUAN]
1.
Duduknya
persoalan
85: Tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai
pada kenyataannya agak dekat dengan tuntutan Yunani agar ilmu pengetahuan itu
tanpa pamrih. Tuntutan yang mirip dengan tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas
nilai, yaitu tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas dari setiap praandaian.
86: Praandaian-praandaian
ilmu pengetahuan, dibedakan dua macam prinsip ilmu pengetahuan, yaitu prinsip-prinsip konstitutif
(praandaian-praandaian) dan prinsip-prinsip yang menyangkut isi (hasil-hasil
ilmu pengetahuan). Tuntutan agar ilmu pengetahuan tanpa praanda:ian maksudnya
adalah mencegah pengaruh-pengaruh dari luar memasuki ilmu pengetahuan, entah
dari agama, politik, atau hidup kemasyarakatan.
87: Praandaian-praandaian tidak bisa diuji secara
langsung , tetapi secara tidak langsung
dilaksanakan melalui keberhasilan metode yang digunakan. Tidak ada ilmu
yang akan menerima suatu metode yang dipaksakan dari luar . Dalam hal ini ilmu
pengetahuan merasa diri otonom. Setiap ilmu ingin menentukan sendiri apa yang
menjadi metodenya.
2. Kebebasan ilmu pengetahuan
88-89 : Ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas ,
kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan
ketidakterikatan mutlak. Bila “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua
hal : kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subyek bers
angkutan untuk memilih sendiri. Supaya
terdapat kebebasan, harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar.
3. Kegiatan ilmiah dan nilai etisnya
90-91: Kegiatan ilmiah dan nilai etisnya sering
menimbulkan konflik, yaitu di satu pihak nilai etis yang terletak dalam
kegiatan meneliti dan menguasai realitas dan din lain pihak nilai-nilai penting
lainnya. Konflik itu oleh si ilmuan dilihat sebagai konflik antara nilai-nilai etis,
karena kurang menyadari arti etis kegiatan ilmiahnya. Ia mempraktekkan ilmunya
, tetapi tidak menempatkan kegiatannya dalam kerangka lebih luas yang mencakup
penilaian etis terhadap kegiatannya. Jadi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas
nilai. Ilmu pengetahuan yang tidak pernah bebas nilai sebab ia sendiri
mengejawantahkan suatu nilai etisnya karena semakin erat kaitannya dengan
praksi.
4. Bebas nilai dan obyektivitas
92-93: Dalam ilmu alam manusia bisa terlibat sebagai
subyek dan sebagai obyek. Terlibat sebagai subyek karena dialah yang
mempraktekkan ilmu pengetahuan alam. Terlibat sebagai obyek, hanya sejauh ia
sebagai makhluk alam bisa menjadi pokok pembicarakaan ilmu alam. Praktek ilmu
alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas.
Praktek ilmiah merupakan suatu
kegiatan psikis ( termasuk obyek Psikologi). Praktek ilmiah merupakan kegiatan
sosial (termasuk obyek sosiologi).
Praktek ilmiah merupakan suatu kegiatan historis ( obyek penelitian ilmu
sejarah).
94: Di kawasan ilmu pengetahuan kemanusiaan
terdapat pelbagai aliran : (1) aliran
yang ingin bekerja “seobyektif mungkin”, dalam arti meregistrasi tingkah laku
manusia dari luar,suapaya ditemukan keajekan-keajekan tertentu. (2 )Aliran yang
melalui metode “merasakan” berusaha mengerti sebaik mungkin manusia yang
bertindak. Demi menjamin obyektivitas adalah dengan mempraktekkan kedua metode
sekaligus, yaitu metode Versteben (mengerti) dan metode Erklaren(menjelaskan).
95-97: Ilmu ekonomi mengisyaratkan tujuan-tujuan mana
dapat dicapai dan tujuan-tujuan mana tidak, dan sarana-sarana mana harus
dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ilmu alam dan teknologi
memperlihatkan hal-hal teknis yang mungkin dilaksanakan, tapi tidak menjawab
pertanyaan-pertanyaan apakah hal-hal itu juga seharusnya dilaksanakan.
5. Beberapa distingsi mengenai
nilai-nilai
98: Perbedaan
antara nilai-nilai etis dan
nilai-nilai lain terletak dalam norma
yang dipakai. Suatu distingsi lain yang penting dalam masalah bebas nilai ilmu
pengetahuan adalah distingsi antara pertimbangan nilai yang memerikan dan
pertimbangan nilai mengevaluasi.
99: Pembedaan antara pertanyaan apakah pertimbangan-pertimbangan
nilai harus berperan dalam ilmu-ilmu manusia dan pertanyaan apakah hal itu
mutlak perlu menghambat intersubyektivitas dalam ilmu pengetahuan. Sebab, bila
orang ingin menyingkirkan semua pertimbangan-pertimbangan nilai etis dari
ilmu-ilmu manusia, hal itu terjadi karena manusia tidak sepakat tentang
pertimbangan-pertimbangan nilai ini.
6.
Praksis
dan implikasi etisnya
100 :
Praktek ilmu manusia tidak pernah akan bisa bebas nilai sama sekali ,
dalam arti tidak pernah boleh mengemukakan pertimbangan-pertimbangan nilai etis
yang mengevaluasi. Alasannya karena
sebagai praksis ilmu manusia harus memberi petunjuk, baik bagi kehidupan
perorangan maupun bagi kehidupan masyarakat. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu
manusia ialah bahwa ilmu-ilmu itu dalam praktek tidak dapat melakukan
eksperimen-eksperimen secara “netral”.
101 :
Ilmu-ilmu manusia boleh dan harus
memanfaatkan sistem-sistem sosial yang berbeda-beda bagi analisa teoretis
merek, tapi lain daripada sengaja bereksperimen dngan sistem-sistem yang
dianggap kurang baik. Walaupun pengalaman eksperimental dalamilmu-ilmu manusia
dapat diperlukan, namun satu-satunya arah yang mengizinkan eksperimentasi
adalah arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh dan menuju suatu
kemasyarakatan yang memungkinkan hal itu.
7.
Teori
dan bebas nilai
102 :
Ilmu-ilmu manusia memandang manusia sebagaimana apa adanya demi
terwujudnya manusia sebagaimana apa adanya. Persamaan-persamaan antara ilmu
alam dan ilmu manusia tidak pernah mutlak. Ilmu alam sendiri tidak mempunyai norma untuk menyukai
perealisasian alamna yang satu di atas
yang lain. Ilmu nmanusia harus menggunakan norma seperti itu . karena obyeknya
mencakup norma itu dalam kodratnya sendiri tidak mempunyai norma untuk menyukai
perealisasian alam yang satu di atas yang lain.
Ilmu-ilmu manusia tidak boleh menghindari pertimbangan etis yang
mengevaluasi justru demi obyektivitas, artinya demi menghormati obyeknya, yaitu
manusia.
8.
Etika
dan ilmu-ilmu manusia
103 : Ilmu-ilmu
manusia mempunyai suatu otonomi relatif. Otonomi itu didasarkan pada kenyataan
bahwa untuk perkembangan etis manusia perlu mengetahui semua nilai dan mengerti
hubungannya satu sama lain. Prinsip-prinsip etis harus digunakan untuk
menentukan apakah nilai-nilai lain bersifat baik atau tidak tidak baik bagi
manusia.
[VI.
TUJUAN-TUJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN PRAKSIS]
1.
Pergeseran
ke arah praksis
104 : Dalam
konteks historis kita lihat terjadinya pergeseran: dari ilmu pengetahuan
sebagai theoria, demi pengetahuan ,
menuju ilmu pengetahuan sebagai praxis,
demi kegunaan bagi kehidupan. Pergeseran historis ke arah praksis menyangkut
sesuatu yang khusus, yaitu bahwa ilmu pengetahuan menjadi berguna bagi semua
aspek sehari-hari.
2.
Tujuan-tujuan
praksis
105-106:Ditinjau
dari segi historis , ada dua faktor yang sangat memperluas tujuan-tujuan
“natural” ini. Faktor pertama, ilmu
pengetahuan bisa berguna untuk praksis dan menambah kemungkinan-kemungkinannya
dengan cara tak terduga. Faktor lain adalah tradisi Yahudi-Kristiani yang minta
perhatian untuk sesama yang menderita ,untuk manusia yang tidak berdaya dan
juga tidak berhak atas bantuan , karena tidak sanggup menyumbangkan sesuatu
kepada masyarakat yang dapat menjadi dasar bagi haknya.
107-108:Pertautan
theoria dan praksis yang begitu khas
bagi perkembangan ilmu pengetahuan ,
mendapat juga juga suatu makna khusus. Pertautan itu dapat dikaitkan dengan
kesatuan awal yang menurut filsafat Yunani terdapat antara theoria
sebagai pengenalan dan etika sebagai praxis. Seluruh ilmu pengetahuan yang
telah berkembang dari filsafat Yunani tertuju pada praxis yang berorientasi
etis : membantu manusia yang menderita untuk hidup pantas.
3.
Ketidakdewasaan
manusia
109-110 Kedewasaan manusia dapat kita ukur dengan tolok
ukur lain , yaitu tolok ukur intern. Seorang manusia yang sungguh-sungguh
dewasa , harus dapat berbicara dengan suatu pengetahuan matang tentang
realitas. Ia harus sanggup berbicara atas namanya sendiri, artinya ia harus
mengenal dirinya sendiri serta motif-motifnya
dan dengan demikian sungguh-sungguh bebas. Sekarang ini tidak ada orang yang
dapat berbicara atas namanya sendiri, sewhinggan tidak ada orang yang
betul-betul dewasa , pun tidak mereka yang secara tradisional disebut dewasa,
termasuk mereka. Para pemikir Yunani kuno : daripada memakai nama”orng
bijaksana” mereka lebih suka disebut “filsuf” artinya orang yang mendambakan
bijaksana.
4.
Etos
intrinsik dari teknologi
111 : Menurut
kodratnya sendiri tehnologi bertujuan membebaskan manusia dari urusan-urusan
materialnya dan dalam hal ini memang semakin berhasil.
112 : Walaupun
situasi teknologis masih kacau , namun
perlu menentukan etos intrinsik teknologi, dapat dikatakan sbb: Bila praksis
teknologis yang dituntun ilmu pengetahuan tampak pertama-tama sebagai sarana
untuk membebaskan manusia dari keterikatannya dengan dunia material, maka tidak
mungkin pembebasan inilah yang paling penting dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dan praksis.
5.
Ilmu pengetahuan sebagai tujuan
114-115:Ilmu
pengetahuan bukan saja sarana tapi juga tujuan. Fungsinya sebagai tujuan harus
dapat dilihat, setidak-tidaknya sedikit. Sebab, kegiatan ilmiah merupakan suatu
unsur penting dari perkembangan manusia seutuhnya dan karena itu harus sudah
dihayati sekarang juga, walaupun fungsinya sebagai sarana paling menyolok.
Kesimpulan penting untuk
menentukan prioritas-prioritas sekarang dngan cara praktis dan efektif, dapat
diajukan dua argumen.(1) Manusia tidak pernah dapat dianggap sebagai sarana
untuk mencapai tujuan. (2) Menjadi tugas generasi sekarang bukan hanya
memajukan ilmu pengetahuan , tapi juga memajukan dengan visi yang
tepat.Sehingga manusia tidak menjadi budak teknologi dan budak tata susunan
teknologis yang diciptakannya.
6.
Pergeseran-pergeseran dari keniscayaan ke kebebasan
116-117:Abad
pertengahan disebut artes liberales(seni yang dipraktekan oran bebas) telah bergeser ke tahap artes serviles( seni ang dipraktekkan budak) . Ilmu pengetahuan
adalah kretivitas, Ia selalu membawa wawasan-wawasan yang baru dan lebih baik,
tapi dengan itu juga menimbulkan kegembiraan lebih besar bagi mereka yang
berkecimpung di bidang ilmiah.
7.Konsekuensi-konsekuensi
untuk menentukan prioritas
117:Ilmu pengetahuan
bukan saja sarana tapi juga tujuan, dapat ditarik suatu kesimpulan penting hal
menentukan prioritas, yaitu prioritas yang harus diberikan kepada kegiatan
ilmiah pada umumnya.
[VII.
KERJA SAMA ANTARA ILMU-ILMU]
1.
Masa
depan yang tidak diketahui
120-121:Kenyataan
fundamental bahwa manusia merupakan makhluk yang berpikir tentang dirinya menuntut agar dalam situasi
baru ia berusaha menentukan serealistis mungkin posisinya di masa depan, dengan
amengenal masa depan, tentu dapat menggelisahkan kita. Tradisi sebagai tempat berpijak yang
teguh telah hilang dan untuk sementara diganti dengan ketidakpastian, Namun
demikian masa depan belum kita kenal, di lain pihak dapat juga membesarkan
hati. Sebab, bnyak hal yang nampaknya tidak dapat diubah karena terikat dengan
kodrat manusia.
2.
Perlunya
mencarikan tendensi-tendensi
122-124:Tendensi
ilmu pengetahuan tertuju pada membuka kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam
seperti itu, yang oleh sejarah diangkat lagi menjadi kemutlakan-kemutlakan
budaya. Sebab tujuan ilmu pengetahuan adalah memperoleh pengertian lebih
mendalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan,
supaya manusia menjadi lebih utuh, lebih dewasa dan lebih bebas. Terdapat
pelbagai tendensi yang memberi harapan , betapapun besarnya kesulitan-kesulitan aktual. Dan mencarika tendensi-tendensi
yang diperlihatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan melanjutkan tendensi
dengan sebaik mungkin.
3.
Kerja
sama antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis
125-129:Ilmu-ilmu
teoritis adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan terdesak oleh problem-problem yang
timbul dalam perspektif ilmu bersangkutan sendiri dalam hubungan timbal balik
antara perumusan teori dan pengujian . Ilmu-ilmu praktis adalah ilmu-ilmu yang
mendapatkan problem-problem nya dalam realitas konkrit, sebagaimana disajikan
dalam praktis, yang umumnya bersifat multidisipliner, tapi terdapat juga
macam-macam ilmu monodisipliner atau interdisipliner yang mempunyai kesatuan
intern yang cukup besar.Kerja sama dengan praksis dianggap sangat penting,
diperlukan untuk menguji teori-teori,dalam praksis nilai khusus manusia tampak
dari teori apapun. Tuntutan-tuntutan praksis tidak menghambat tuntutan teori.
4.
Kerja
sama antara filsafat, etika, dan ilmu-ilmu positi
130-131:Betapa
eratnya kerja sama antara ilmu-ilmu positif serta ilmu-ilmu refleksif dan
betapa mereka sangat membutuhkan satu sama lain. Ilmu pengetahuan alam dan
teknologi selama perkembangannya memperlihatkan banyak hal tentang hubungan
antara manusia dan alam yang mempunyai kosekuensi etis. Mereka membutuhkan
filsafat dan etika, yang tidak akan sanggup mencapai visi- visi baru itu.
5.
Andil
sejarah
132-134:Dengan
mempelajari sejarah kita dapat belajar bagaimana manusia berulang kali gagal,
bagimana maksud yang paling luhur sesudah beberapa waktu dirusakkan dan dalam
usaha perwujudannya tidak jarang berujung pada yang kebalikannya. Sejarah
mengajarkan lagi bahwa periode-periode penuh optimisme ketika dinantikan masa
depan gemilang, silih berganti dengan periode penuh pesimisme. Bagi ilmu-ilmu
manusia sejarah merupakan sumber informasi yang penting karena berisikan fakta
dan analisa terhadap fakta-fakta yang beraneka ragam sehingga dapat menunjukkan
determinisme tingkah laku manusia.
6.
Andil
ilmu-ilmu manusia
135-136:Ilmu
pengetahuan kemanusiaan bertugas untuk memungkinkan manusia mengarahkan diri
pada yang dialaminya sebagai kewajiban etis berkat pengetahuan tentang
keajekan-keajekan yang menandai kodrat manusia. Ilmu-ilmu manusia akan
memeperkecil karak antara keinsafan etis dan kewajiban etis, karena mereka
memperluas jangkauan kebebasan dan tanggung jawab manusia.
7.
Andil ilmu alam
137 : Andil ilmu alam dalam kerja sama
ilmu-ilmu tidak begitu besar, terutama bila kerja sama itu dipandang dari segi
sumbangan yang dapat diberikan masing-masing ilmu untuk pengenalan diri dan
kebebasan batiniah manusia.
8.
Beberapa kesimpulan
138-140:Dari
uraian tentang kerja sama antara ilmu-ilmu yang diberikan dapat ditarik dua
kesimpulan: pertama, semua ilmu dibutuhkan dan semua ilmu juga membutuhkan satu
sama lain untuk dapat mencapai tujuan umum, baik tujuan yang menyangkut ilmu
teoritis maupun yang menyangkut ilmu praktis; kedua, ilmu pengetahun dan
praksis jelas terlihat tendensi-tendensi yang menunjukkan bahwa hal-hal yang
mulanya tampak hampir tidak mungkin lambat laun menjadi mungkin.
Pertentangan-pertentangan yang pada mulanya tidak dapat didamaikan, akhirnya
dapat diatasi.
[VIII.
ILMU PENGETAHUAN DAN KEBIJAKSANAAN]
1.
Ilmu
pengetahuan dan pandangan hidup
141-142:Ilmu
pengetahuan menurut kodratnya bertugas memberikan manusia sebanyak mungkin
kejelasan tentang dirinya. Ilmu pengetahuan menurut kodratnya harus memberikan
kejelasan yaitu seluruh aktivitas ilmiah manusia seperti kegiatan ilmiah
langsung, praksis, refleksi filosofis, dan etis atau praksis itu.
143 : Masalah-masalah
yang menyangkut pandangan hidup tidak dapat diragukan bahwa sekurang-kurangnya
beberapa aspek dapat diselidiki secara ilmiah. Ilmu pengetahuan positif
memberikan sumbangan tidak langsung dan sumbangan langsung. Sebab kita
mengetahui lebih banyak tentang faktor-faktor yang menguasai tingkah laku
manusia perorangan dan sosial, sejauh itu pula akan dapat kita mengerti lebih
baik apa yang menguasai atau turut menguasai pilihan–pilihan mendasar di bidang
pandangan hidup.
2.
Tanpa pamrih
144-146:Tuntutan
agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih dapat dirumuskan dengan cara lain,
misalnya sebagai obyektivitas, sebagai inter subyektivitas, sebagai cinta akan
kebenaran, sebagai kesadaran kritis. Tuntutan agar ilmu pengetahuan itu tanpa
pamrih pasti tidak terbatas pada kegiatan ilmiah sejauh langsung berkaitan
dengan masalah-masalah pandangan hidup. Tuntutan agar kegiatan ilmiah itu tanpa
pamrih dapat disimpulkan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu pengetahuan harus
mempunyai kesadaran mendalam tentang imlikasi-implikasi etisnya dan
implikasi-implikasi etis tidak terbatas pada yang dilihat secara langsung.
3. Kebijaksanaan
147-148:Kegiatan
ilmiah dalam bentuk yang didispeliasir meminta kebijaksanaan yang dapat
mengkaitkan keinsafan akan keterbatasan metodenya sendiri dengan keinsafan yang
tepat akan kedudukannya dalam keseluruhan. Kebijaksanaan tidak mungkin dibatasi
pada satu bidang saja tapi harus dianggap sama penting dalam politik dan dalam
ilmu pengetahuan.
4.Ilmu pengetahuan, kebijaksanaan,
dan keterlibatan dalam masyarakat
149-150:Cita-cita
kebijaksanaan berasal dari jaman ketika orde alam maupun orde sosial dianggap
sebagai suatu keadaan yang teguh dan tak terguncangkan yang harus diterima
begitu saja oleh manusia. Kebijaksanaan mengajak kita agar menerima realitas
dan pasrah kepadanya. Integrasi ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan
memperlihatkan bahwa sikap pasrah itu bukan titik akhir. Sebaliknya, menerima
realitas merupakan titik pangkal yang mengijinkan dan serentak mewajibkan kita
untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dalam realitas yang sesuai dengan
hidup manusia yang lebih sempurna. Kebijaksanaan tidak boleh disamakan dengan
sikap pasrah, biar pun kebijaksanaan itu tetap akan menyadari bahwa dalam
banyak hal manusia masih tidak berdaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar