The Most Popular Traffic Exchange

Minggu, 15 Desember 2013

Ringkasan Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita (Prof.Dr.AGM. van Melsen)



Prof.Dr.AGM. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita
Jakarta (PT Gramedia) 1985, 157 hlm
Bab I        : Ilmu Pengetahuan dan Perkembangannya; hlm 1-17;
Bab II      : Keanekaragaman Ilmu Pengetahuan; hlm 20-47;
Bab III     : Ilmu – ilmu teoritis dan praktis; hlm 49-65;
Bab IV     : Tanggung Jawab; hlm 68-80
Bab V      : Bebas Nilai dalam Ilmu Pengetahuan; hlm 85-102;
Bab VI     : Tujuan Ilmu Pengetahuan Dan Praktis; hlm 104-117;
Bab VII   : Kerja Sama Antara Ilmu-ilmu; hlm 120-138;
Bab VIII  :Ilmu Pengetahuan dan Kebijaksanaan; hlm 141-149.

[I. ILMU PENGETAHUAN DAN PERKEMBANGANNYA]
1.      Dari banyak menjadi satu
1   :  Salah satu kesulitan terbesar dalam merefleksi tentang ilmu pengetahuan adalah keanekaragaman ilmu pengetahuan itu.
1 -2   : Ilmu pengetahuan timbul sebagai usaha untuk secara metodis dan sistematis mencari azas-azas yang mengijinkan untuk memahami kesatuan. Sejarah ilmu pengetahuan memperlihatkan tendensi yang sama untuk mencari azas-azas yang menjamin kesatuan.
2.      Banyak ilmu
     3   : Terdapat banyak ilmu yang masing-masing memetakan realitas dengan caranya sendiri, tampa mempersatukan semua peta itu menjadi pandangan menyeluruh tentang realita.


3. Hubungan antara ilmu pengetahuan dan masyarakat : dulu dan sekarang
4-5    : Dahulu ilmu pengetahuan praktis tidak mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Kegiatan ilmiah tidak bertujuan mempermudah urusan atau meningkatkan taraf hidup jasmani. Ilmu pengetahuan sekarang ini melayani kehidupan sehari-hari menurut segala aspeknya.
4.      Apa sebabnya kegunaan ilmu pengetahuan ditemukan
7   : Perkembangan ilmu pengetahuan – dari ilmu pengetahuan yang semata-mata rasional lewat ilmu pengetahuanyang bersifar rasional-empiris menuju ilmu pengetahuan yang bersifat rasionak eksperimantal – yang mengakibatkan ditemukannya kegunaan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinya tehnik juga mendapat kemungkinan impuls baru. Ilmu pengetahaun – dan oertama-tama ilmu pengetahuan alam- mulai mengabdi kepada tehnik dan ikut serta dalam kegunaannya.
5.      Sifat progresif ilmu pengetahuan dewasa ini
7  : Pengetahuan kita semakin tepat dan semakin mendalam diduga adanya potensi baru yang selalu harus diuji dengan sifat progresif pengetahuan. Sebelum timbulnya ilmu pengetahuan yang bersifat eksperimental aspek progresif ilmu pengetahuan itu hampir tidak dilihat.
6.      Tempat “ prima principia “ dalam filsafat ilmu pengetahuan yang klasik
8-9    : Prima principia, prisip-prinsip fundamental dari ilmu pengetahuan, terbuka bagi rasio. Ilmu pengetahuan dapat berkembang tetapi tidak menarik dari pada konsekuensi baru dari apa yang sudah dikenal. Yang dianggap penting ialah mendefinisaikan benda ilmiah menjadi obyek  penelitian ilmiah. Dengan cara demikian benda dapat dikaitkan dengan prinsip atau dalil yang diturunkan dari prinsip termasuk menurut kodratnya.
7.      Kedudukan “ prima principi” yang telah berubah
12 :  Prinsip-prisip sekali-kali tidak ditentukan hanya dengan memandang realita secara rasional. Prinsip itu harus ditemukan menurut prosedur yang komplek bekerjasama obserfasi, induksi, konstruksi teoritis, deduksi logis, dan pengujian eksperimental.
8.      Alasan mengapa timbulnya ilmu alam begitu lambat
13 : Karena teori ilmu alam diperlukan dahulu untuk dapat memperoleh pandangan tepat tentang gejala dan mengadakan eksperimen dengan cara pengetahuan diperluas.          
9.      Pembagian klasik dari ilmu pengetahuan
14 :  Pembagian ilmu praktis mengikuti sifat-sifat praktis yang bersangkutan. Etika menyangkut tindakan yang tepat, potika menyangkut produksi yang tepat, logika menyangkut argumentasi yang tepat
10.  Pembauran antara ilmu dan seni
16-17   :           Perkembangan paling tepat digambarkan sebagai menghilangnya perbedaan antara ilmu dan seni. Apa yang dulu termasuk seni dapat dipersatukan menjadi satu ilmu. Pengetahuan tertuju pada perbuatan, telah berpindah ke pengetahuan ilmiah.
11.  Sebab-musabab spesialisasi
18-19   :           Masih ada ciri seni yang berpindah ke ilmu pengetahuan, yakni spesialisasi. Spesialisasi yang semakin bertambah tidak akan dimengerti, seandainya ilmu alam dikemudian hari bekerja menurut metode yang sama seperti ilmu malam yang lama. Spesialisasi justru harus timbul supaya tendensi ilmu pengetahuan yang universal dapat diwujudkan dan dapat disintetisir. Spesialisme berkaitan dengan ilmu pengetahuan yang berbeda karena didasarkan atas sikap pemikiran yang sangat berlainan.
[II. KEANEKARAGAMAN ILMU PENGETAHUAN; hlm 20-47]
1.      Terpecahnya kesatuan
20-22   :           Filsafat telah nenyajikan suatu teori ilmu pengetahuan dab setiap ilmuan telah diperkenalkan dengan teori itu. Karena itu ia mempunyai suatu pandangan menyeluruh tentang sifat ilmiah pada umumnya, sekalipun ia bukan ahli di semua bidang ilmiah. Keadaan itu berubah, ketika ada ilmu-ilmu lain yang mencapai kematangannya: ilmu sejarah , ekonomi, sosiologi, psikologi, ilmu bahasa dan sebagainya. Ketika ilmu mulai menginsafi perbedaan dengan ilmu alam secara intensif mulai mempelajari perbedaan antara Geisteswissenschaften dan Naturwissenschaften. Dan ilmu masih mencari metode yang serasi.
2.      Alasan keanekaragaman ilmu pengetahuan
23-25   :           Ilmu pengetahuan budaya maupun ilmu pengetahuan alam dapat membahas manusia, tetapi menurut sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap ilmu sebetulnya membahas seluruh realitas, tetapi selalu menurut sudut pandang yang tertentu. Yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah setiap ilmu berusaha melukiskan kenyataan menurut suatu sistem konsep yang sejenis dan bertautan satu sama lain.
3.      Ilmu alam
26-30   :           Ciri khas (1) melukiskan kenyataan menurut aspek-aspek yang mengizinkan regristrasi inderawi yang langsung. (2) menyangkut pengamatan terhadap benda-benda dan grjala alam yang diregristrasi dalam eksperimen “campur tangan” (3) mengandaikan pada suatu determinisme. Benda alam tidak boleh bereaksi menurut sifatnya yang spesifik. Karena ilmu alam dapat menuntut bahwa setiap eksperimen pada prinsipnya dapat diulngi. (4)Ilmu alam agak jauh dari pengalaman konkrit memang sesuai dengan kenyataan  bahwa ilmu ini bersifat eksak. (5) Ilmu meregristasi data-data pengamatan  sehingga menpunyai “isi” yang  univok yang diberikan oleh regristrasri instrumental.
4.      Ilmu sejarah
31-36   :           Manusia sebagai subyek perbuatannya tercantum dalam obyek sejarah sebagai ilmu. Sejarah ilmu alam tidak merupakan pokok pembicaraan bagi ilmu alam itu sendiri, sedang sejarah mengenai ilmu sejarah betul-betul termasuk obyek ilmu sejarah. Ilmu sejarah lebih bersifat meta-esksak dari pada non-eksak. Perhatiannya secara khusus diarahkan kepada perkembangan yang bersifat unik, dimasa lampau maupun masa sekarang. Ilmu sejarah tidak bisa vmengadakan eksperimen. Perbandingan kejadian historis kerapkali memungkinkan analisa. Perbuatan historisnya manusia merealisasikan tujuan tertentu secara sadar. Manusia  adalah pelaku aktif dalam sejarah  yang ikut menentukan jalannya sejarah dengan pertimbangan, tujuan, dana perbuatannya sendiri.
5.      Ilmu-ilmu manusia
37-41   :           Ilmu-ilmu manusia disebut ilmu tingkah laku (behavioral sciences) atau ilmu sosial iatilah Jerman Geisteswissenschaften atau “ ilmu buudaya” atau “ ilmu kultural”. Konsep-konsepyang digunakan ilmu manusia lebih bersifat analog dari pada univok. Keinginan untuk mengerti tingkah laku manusia dengan baik dengan pertimbangan : (1) pengertian tentang tingkah laku terbatas sekalipun menyangkut diri kita sendiri (2) ‘gensi” manusia mempunyai pengertian terhadap diri sendiri. Karena manusia termasuk obyek ilmu manusia , maka ilmu manusia akan terbentur pada masalah obyektifitas lebih tajam dari pada ilmu alam.
6.      Ilmu-ilmu non-empiris
42 :  Ilmu disebut non-empiris, bila tidak bermaksud menyelidiki secara sistematis data-dat konkrit itu sendiri.

7.      Matematika
43-44   :           Matematika merupakan ilmu non-empiris, tidak bertentangan dengan kenyataan dilihat dari perkembangan historisnya. Matematika telah melepaskan lebih lanjut ikatan dengan realitas empiris itu. Matematika dalam bentuk abstrak masih tetap sangat penting bagi ilmu-ilmu empiris. Matematika  sebagai basis mutlak perlu”struktur pengulangan” yang merupakan struktur dasar realitas jasmani.  
8.      Filsafat
45-47   :           Tugas filsafat adalah menyelidiki metode dengan prinsi-prinsip apa. Prinsip yang menentukan adalah fakta-fakta eksperimental merupakan suatu prinsip yang tidak menyangkut isi ilmu alam melainkan metodenya. Itulah suatu prinsip metodis yang disebut prinsip konstitutif. Kebanyakan ilmu berasal dari filsafat menurut dua segi yang sepadan dengan pembedaan antara dua macam prinsip ilmu pengetahuan , yang menyangkut isi dan konstitutif. Kendatipun filsafat bersifat non empiris , namun harus menghadap pengalaman yang kentara dalam perkembangan kemungkinan manusiawi.
9.      Kata penutup
48      : Semua ilmu yang diuraikan  dalam bab ini tergolong diantara apamyang dalam teori ilmu pengetahuan klasik disebut ilmu pengetahuan teoritis, artinya ilmu-ilmu yangb ditujukan pada pengetahuan dan tidak langsung pada praktis. Ilmu alam, ilmu sejarah, ilmu manusia, matematika, dan filsafat sampai sekarang hanya diselidiki sejauh mereka mampelajari realitas dengan cara yangbberbeda.



[III. ILMU –ILMU TEORITIS DAN PRAKTIS]
1.      Pendahuluan
49-50   :           Apakah kebertautan antara teori dan praktis yang begitu kuat dibidang ilmu alam, terdapat pada semua ilmu?
2.      Penisbian terhadap pembedaan klasik antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis.
51 : Alasan sebenarnya mengapa perbedaan antara ilmu pengetahuan teoritis dan ilmu pengetahuan praktis begitu dinisbikan terletak dalam pengalaman bahwa penelitian ilmiah murni yang diadakan semata-mata untuk menambah pengetahuan, lambat laun menghantar kita kepada penerapan-penerapan praktis yang lebih luas dan lebih berdampak dari pada penelitian yang langsung ditujukan pada penerapan.
3.      Perbedaan antara ilmu pengetahuan toeritis dan ilmu pengetahuan praktis menurut bentuk sekarang ini
52-58   :           Ilmu teoritis memandang realita dengan cara yang tertentu baik menyangkut pengamatan maupun sarana, ditentukan oleh rentetan permasalahan yang muncul didalam ilmu mempengaruhi sifat penerapan ilmu. Ilmu praktis  cara memandang yang bersifat abstrak . Tidak ada ilmu yang menguasai realita konkrit dalam keseluruhannya. Kesulitannya (1) tidak semua ilmu berkembang sejauh itu (2) yang menghalang-halangi kerjasama antarai lmu-ilmu mempunyai dasar lebih dalam lagi. Perbedaan tampak disatu pihak terdapat sekelompok ilmu-ilmu teoritis yang dalam penelitiannya terpimpin oleh permasalahannya sendiri. Di lain pihak  terdapat sekelompok ilmu yang sengaja bertolak dari kebutuhan praktis dengan maksuk eksplisit mencari pemecahan bagi masalah.
4.             Ilmu multidisipliner, interdisipliner, dan monodisipliner
59-62   :           Tidak boleh disimpulkan ilmu praktis dapat dipertentangkan dengan ilmu teoritis sebagai ilmu multidisipliner terhadap ilmu monodisipliner. Dalam hal ini lebih menggunakan istilah multidisipliner dari pada interdisipliner, karena kenyataanya berlangsung adalah  “interdisipliner’’ nampaknya lebih pada tempatnya, jika yang terlibat adalah teori-teori yang mampu memecahkan problem fundamental dari ilmu yang sangat berbeda. Maka dari itu usaha pendekatan multidisipliner yang ditimbulkan oleh kebutuhan konkrit, dalam jangka pendek tidak begitu mudah menghantar kita kepada tujuan  yang dimaksudkan. Betapapun besar kebutuhan itu, usaha ilmu “murni” pada akhirnya tampak sebagai satu-satunya jalan yang cepat untuk dapat maju.
5.      Kebertautan teori dan praktis berlaku umum
63-64   :           Tidak dapat diragukan lagi, ilmu sejarah mampu mengadakan sintesa. Sebab, ilmu itu berusaha memberikan suatu gambaran menyeluruh tentang masa lampau. Filsafat sebagai theoria dan etika sebagi praxis secara instrinsik berkaitan satu sama lain. Denagan demikian melalui refleksinya atas kodrat dan tugas manusia kiranya filsafat pun dapaat berperan sebagai pembawa sintesa dalam proses mengadakan integrasi antara ilmu-ilmu bersama sudut pandang dan tujuan khusus mereka.
6.      Ciri khusus yang menandai semua ilmu
65-67   :           Ilmu pengetahuan secara metodis haarus mencapai suatu keseluruhan yang secara logis koheren. Itu berarti adanya sistem adanya penelitian(metode)  maupun dalam hasil(susunan logis). Ilmu pengetahuan harus tanpa pamrih. Dengan caranya sendiri ilmu sejarah akan mencari yang universal tidak berarti”dapat diulangi” namun menunjukkan hal yang unik yang secara genetis. Agar obyektifitas terjamin sebaik mungkin ilmu pengetahuan harus memenuhi tuntutan intersubyektifitas,  harus dapat diferifikasi, dan dapat dikomunikasi. Tuntutan modern yang berlaku bagi ilmu pengetahuan yaitu menyebut profresivitas ilmu pengetahuan. Yang berkaitan erat dengan progresivitas adalah sikap kritis. Ilmu pengetahuan senantiyasa maju, senantiyasa membuka wilayah baru, selalu yang digarap selalu dapat direvisi. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan.

[IV. TANGGUNG JAWAB]
1.      Tanggung jawab dan kausalitas
68-69   :           “Bertanggung jawab atas” menunjukkan hubungan kausalitas: subyek bertanggung jawab  dianggap sebagai penyebab salah satu akibat yang telah atau sebagai penyebab terjadinya suatu akibat. Tanggung jawab ilmu pengetahuan atas masa depan, tentu pertama-tama menyangkut usaha agar segala sesuatu yang tergantung oleh campur tangan ilmu pengetahuan akan dipulihkan kembali.Pengetahuan menemukan bahwa orde alam dan masyarakat dapat diubah, maka menjadi tanggungjawabnya menjaga agar yang akan diwujudkan adalah orde yang paling baik. Tanggung jawab menimbulkan problem etis yang menyangkut ketegangan antara realitas yang ada dan realitas yang seharusnya ada tapi tidak terjadi secara otomatis.
2.      Tanggung jawab yang semakin besar
71 : Yang menandai hakekat manusia ialah bahwa hakekat itu serentakmerupakan titik tolak bagi aktivitsia  dan serentak juga titik tujuannya : apa yang harus diwujudkan melalui akivitas itu. Tanggung jawab manusia betul-betul terbatas, dalam arti bahwa manusia tidak bertanggung jawab atas tanggung jawab yang ditemukan pada jalannya.
72 : Tanggung jawab ilmu pengetahuan tidak saja menyangkut penerapan etis yang tepat dari ilmu pengetahuan yang sekarang begitu praktis sifatnya. Ilmu pengetahuan bertanggung jawab juga untuk menemukan sikap etis yang tepat, sesuai dengan apa yang dalam perkembangan ilmu pengetahuan diajarkan tentang manusia.


3. Keinsafan etis dan kewajiban etis
73 : Manusia tidak menciptakan tanggung jawab, tetapi membacanya. Maksudnya, Membaca tanggung jawabnya pada kodratnay sebagai manusia, artinya sebagai mahluk di mana – sejauh mungkin – materialitas tunduk pada roh.
73:  Kewajiban etis selalu menyadari adanya ketegangan antara yang seharusnya ada dan yang pada kenyataannya ada.
73-74   :           Keinsafan etis menyangkut juga ketegangan yang seharusnya ada dan yang pada kenyataannya ada, tapi dalam suatu kerangka lebih luas. Sebab, keinsafan etis itu tidak menyangkut apa yang seharusnya ada begitu saja, melainkan apa yang sebetulnya seharusnya ada seandainya kemungkinan-kemungkinan realitas lain daripada keadaan yang nyata.
74-75 : Yunani, tugas dan tanggung jawab pertama ilmu pengetahuan adalah merealisasikan tempat manusia dalam alam. Hakekat manusia sudah dianggap bukan saja sebagai suatu data , melainkan juga suatu tugas, yaitu tugas untuk mewujudkan hakekatnya sendiri. Perbedaan dulu dan sekarang adalah terjadinya pergeseran mengenai apa yang tampak sebagai data dan apa yang harus direalisasikan.

4. Lingkaran setan yang menandai etika
76 :  Keadaan lingkaran setan artinya adanya pertautan antara filsafat yang berusaha  menjawab pertanyaan siapa dan apa manusia itu dan etika yang berusaha  menerjemahkan jawaban itu ke dalam suatu sikap hidup dan praksis di mana manusia sungguh-sungguh menjadi siapa dan apa adanya.
77 : Salah satu perbedaan penting antara ilmu alam dan ilmu manusia adalah bahwa pada ilmu manusia kategori-kategori dasar sudah dikenal. Filsafat dan etika sesuai dengan ilmu-ilmu manusia. Sejauh menyangkut filsafat , dapat kita saksikan bahwa pergeseran-pergeseran fundamental tentang hakekat manusia dan hubungannya dengan alam tetap tinggal dalam perbatasan konsepsi-konsepsi dasar yang asli.
78-79   :           Kepekaan untuk dimensi etis ini mengandaikan juga pengertian tntang cara berfungsinya dimensi etis dalam perkembangan dinamis dari praksis.
80 : Yang menandai perkembangan –perkembangan ilmu pengetahuan secara khusus ialah bahwa perkembangan-perkembangan itu tidak diakibatkan suatu keinginan terarah untuk menjembatani kesenjangan antara  kewajiban etis dan keinsafan etis, sumbernya kerap kali adalah tujuan-tujuan lain.
5.    Masalah prioritas
a.      Ilmu pengetahuan murni versus ilmu pengetahuan terapan
80:  Ilmu pengetahuan murni membawa kita pada pemecahan yang jauh melebihi penelitian yang berorientasi praktis. Prioritas ilmu pengetahuan murni ini berlaku  di bidang ilmu alam dan teknologi yang terbatas itu, tapi ada alasan kuat untuk mengandaikan bahwa keberlakuannya umum.
b.      Ilmu alam versus ilmu manusia
80: Pada awalnya ilmu pengetahuan merupakan hal yang hampir semata-mata intelektual, perkembangannya berlangsung ke arah suatu ilmu pengetahuan eksperimental  di mana praksis menjadi bagian integral dari proses memperoleh dan menguji pengetahuan.
c.       Ilmu-ilmu refleksif versus ilmu-ilmu nonrefleksif
81-82 : Istilah “positif ” dalam sebutan “ilmu positif “berarti bahwa ilmu bersangkutan membahas fakta-fakta, sebagaimana terjadi ilmu-ilmu yang didasarkan pada pengalaman(ilmu-ilmu empiris). Salah satu ciri khas suatu ilmu positif adalah sifat nonrefleksifnya, dalam arti bahwa ada ilmu-ilmu di mana refleksi tidak memegang peranan.Setiap ilmu mewmpunyai salah satu bentuk refleksivitas, sejauh mempunyai suara aspek teoritis.
83: Keinginan untuk menerapkan prioritas berasal dari kesadaran bahwa ilmu pengetahuan bertanggungjawab atas perubahan –perubahan dalam masyarakat, biarpun pada mulanya ilmu pengetahuan tidak tertuju pada hal itu, terdapat juga kesadaran bahwa tanpa usaha ilmiah lebih lanjut manusia tidak mampu untuk menanggulangi efek-efek sampingan kurang baik dari perubahan-perubahan yang ternyata mungkin ke arah yang diin ginkan.
84:  Ilmu pengetahuan harus bebas dari semua “noda” dari luar, harus voraussetzungslos (= tanpa perandaian), sebagaimana dikatakan dalam bahasa Jerman, tidak terikat pada dogma apapun, pendeknya harus bebas nilai.

[V. BEBAS NILAI DALAM ILMU PENGETAHUAN]
1.      Duduknya persoalan
85:  Tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai pada kenyataannya agak dekat dengan tuntutan Yunani agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih. Tuntutan yang mirip dengan tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas nilai, yaitu tuntutan agar ilmu pengetahuan bebas dari setiap praandaian.
86: Praandaian-praandaian ilmu pengetahuan, dibedakan dua macam prinsip ilmu pengetahuan, yaitu prinsip-prinsip konstitutif (praandaian-praandaian) dan prinsip-prinsip yang menyangkut isi (hasil-hasil ilmu pengetahuan). Tuntutan agar ilmu pengetahuan tanpa praanda:ian maksudnya adalah mencegah pengaruh-pengaruh dari luar memasuki ilmu pengetahuan, entah dari agama, politik, atau hidup kemasyarakatan.
87:  Praandaian-praandaian tidak bisa diuji secara langsung , tetapi secara tidak langsung  dilaksanakan melalui keberhasilan metode yang digunakan. Tidak ada ilmu yang akan menerima suatu metode yang dipaksakan dari luar . Dalam hal ini ilmu pengetahuan merasa diri otonom. Setiap ilmu ingin menentukan sendiri apa yang menjadi metodenya.
2. Kebebasan ilmu pengetahuan
88-89 : Ilmu pengetahuan itu seharusnya bebas , kebebasan yang dituntut ilmu pengetahuan sekali-kali tidak sama dengan ketidakterikatan mutlak. Bila “kebebasan” dipakai, yang dimaksudkan adalah dua hal : kemungkinan untuk memilih dan kemampuan atau hak subyek bers angkutan  untuk memilih sendiri. Supaya terdapat kebebasan, harus ada penentuan diri dan bukan penentuan dari luar.
3. Kegiatan ilmiah dan nilai etisnya
90-91: Kegiatan ilmiah dan nilai etisnya sering menimbulkan konflik, yaitu di satu pihak nilai etis yang terletak dalam kegiatan meneliti dan menguasai realitas dan din lain pihak nilai-nilai penting lainnya. Konflik itu oleh si ilmuan dilihat sebagai konflik antara nilai-nilai etis, karena kurang menyadari arti etis kegiatan ilmiahnya. Ia mempraktekkan ilmunya , tetapi tidak menempatkan kegiatannya dalam kerangka lebih luas yang mencakup penilaian etis terhadap kegiatannya. Jadi ilmu pengetahuan tidak pernah bebas nilai. Ilmu pengetahuan yang tidak pernah bebas nilai sebab ia sendiri mengejawantahkan suatu nilai etisnya karena semakin erat kaitannya dengan praksi.
4. Bebas nilai dan obyektivitas
92-93:  Dalam ilmu alam manusia bisa terlibat sebagai subyek dan sebagai obyek. Terlibat sebagai subyek karena dialah yang mempraktekkan ilmu pengetahuan alam. Terlibat sebagai obyek, hanya sejauh ia sebagai makhluk alam bisa menjadi pokok pembicarakaan ilmu alam. Praktek ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusiawi yang khas.
            Praktek ilmiah merupakan suatu kegiatan psikis ( termasuk obyek Psikologi). Praktek ilmiah merupakan kegiatan sosial (termasuk  obyek sosiologi). Praktek ilmiah merupakan suatu kegiatan historis ( obyek penelitian ilmu sejarah).
94: Di kawasan ilmu pengetahuan kemanusiaan terdapat pelbagai  aliran : (1) aliran yang ingin bekerja “seobyektif mungkin”, dalam arti meregistrasi tingkah laku manusia dari luar,suapaya ditemukan keajekan-keajekan tertentu. (2 )Aliran yang melalui metode “merasakan” berusaha mengerti sebaik mungkin manusia yang bertindak. Demi menjamin obyektivitas adalah dengan mempraktekkan kedua metode sekaligus, yaitu metode Versteben (mengerti) dan metode Erklaren(menjelaskan).
95-97:  Ilmu ekonomi mengisyaratkan tujuan-tujuan mana dapat dicapai dan tujuan-tujuan mana tidak, dan sarana-sarana mana harus dipakai untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Ilmu alam dan teknologi memperlihatkan hal-hal teknis yang mungkin dilaksanakan, tapi tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan apakah hal-hal itu juga seharusnya dilaksanakan.
5. Beberapa distingsi mengenai nilai-nilai
98: Perbedaan antara nilai-nilai etis dan nilai-nilai lain terletak dalam norma yang dipakai. Suatu distingsi lain yang penting dalam masalah bebas nilai ilmu pengetahuan adalah distingsi antara pertimbangan nilai yang memerikan dan pertimbangan nilai mengevaluasi.
99:  Pembedaan antara pertanyaan apakah pertimbangan-pertimbangan nilai harus berperan dalam ilmu-ilmu manusia dan pertanyaan apakah hal itu mutlak perlu menghambat intersubyektivitas dalam ilmu pengetahuan. Sebab, bila orang ingin menyingkirkan semua pertimbangan-pertimbangan nilai etis dari ilmu-ilmu manusia, hal itu terjadi karena manusia tidak sepakat tentang pertimbangan-pertimbangan nilai ini.


6.             Praksis dan implikasi etisnya
100    :  Praktek ilmu manusia tidak pernah akan bisa bebas nilai sama sekali , dalam arti tidak pernah boleh mengemukakan pertimbangan-pertimbangan nilai etis yang mengevaluasi. Alasannya karena sebagai praksis ilmu manusia harus memberi petunjuk, baik bagi kehidupan perorangan maupun bagi kehidupan masyarakat. Kesulitan khusus bagi ilmu-ilmu manusia ialah bahwa ilmu-ilmu itu dalam praktek tidak dapat melakukan eksperimen-eksperimen secara “netral”.
101    :  Ilmu-ilmu manusia  boleh dan harus memanfaatkan sistem-sistem sosial yang berbeda-beda bagi analisa teoretis merek, tapi lain daripada sengaja bereksperimen dngan sistem-sistem yang dianggap kurang baik. Walaupun pengalaman eksperimental dalamilmu-ilmu manusia dapat diperlukan, namun satu-satunya arah yang mengizinkan eksperimentasi adalah arah menuju kemanusiaan yang lebih baik serta utuh dan menuju suatu kemasyarakatan yang memungkinkan hal itu.
7.      Teori dan bebas nilai
102    :  Ilmu-ilmu manusia memandang manusia sebagaimana apa adanya demi terwujudnya manusia sebagaimana apa adanya. Persamaan-persamaan antara ilmu alam dan ilmu manusia tidak pernah mutlak. Ilmu alam  sendiri tidak mempunyai norma untuk menyukai perealisasian alamna  yang satu di atas yang lain. Ilmu nmanusia harus menggunakan norma seperti itu . karena obyeknya mencakup norma itu dalam kodratnya sendiri tidak mempunyai norma untuk menyukai perealisasian alam yang satu di atas yang lain.  Ilmu-ilmu manusia tidak boleh menghindari pertimbangan etis yang mengevaluasi justru demi obyektivitas, artinya demi menghormati obyeknya, yaitu manusia.
8.      Etika dan ilmu-ilmu manusia
103     :  Ilmu-ilmu manusia mempunyai suatu otonomi relatif. Otonomi itu didasarkan pada kenyataan bahwa untuk perkembangan etis manusia perlu mengetahui semua nilai dan mengerti hubungannya satu sama lain. Prinsip-prinsip etis harus digunakan untuk menentukan apakah nilai-nilai lain bersifat baik atau tidak tidak baik bagi manusia.



[VI. TUJUAN-TUJUAN ILMU PENGETAHUAN DAN PRAKSIS]
1.      Pergeseran ke arah praksis
104     :  Dalam konteks historis kita lihat terjadinya pergeseran: dari ilmu pengetahuan sebagai theoria, demi pengetahuan , menuju ilmu pengetahuan sebagai praxis, demi kegunaan bagi kehidupan. Pergeseran historis ke arah praksis menyangkut sesuatu yang khusus, yaitu bahwa ilmu pengetahuan menjadi berguna bagi semua aspek sehari-hari.
2.      Tujuan-tujuan praksis
105-106:Ditinjau dari segi historis , ada dua faktor yang sangat memperluas tujuan-tujuan “natural” ini. Faktor pertama,  ilmu pengetahuan bisa berguna untuk praksis dan menambah kemungkinan-kemungkinannya dengan cara tak terduga. Faktor lain adalah tradisi Yahudi-Kristiani yang minta perhatian untuk sesama yang menderita ,untuk manusia yang tidak berdaya dan juga tidak berhak atas bantuan , karena tidak sanggup menyumbangkan sesuatu kepada masyarakat yang dapat menjadi dasar bagi haknya.
107-108:Pertautan theoria dan praksis yang begitu  khas bagi perkembangan  ilmu pengetahuan , mendapat juga juga suatu makna khusus. Pertautan itu dapat dikaitkan dengan kesatuan  awal yang menurut  filsafat Yunani terdapat antara theoria sebagai pengenalan dan etika sebagai praxis. Seluruh ilmu pengetahuan yang telah berkembang dari filsafat Yunani tertuju pada praxis yang berorientasi etis : membantu manusia yang menderita untuk hidup pantas.
3.      Ketidakdewasaan manusia
109-110 Kedewasaan manusia dapat kita ukur dengan tolok ukur lain , yaitu tolok ukur intern. Seorang manusia yang sungguh-sungguh dewasa , harus dapat berbicara dengan suatu pengetahuan matang tentang realitas. Ia harus sanggup berbicara atas namanya sendiri, artinya ia harus mengenal  dirinya sendiri serta motif-motifnya dan dengan demikian sungguh-sungguh bebas. Sekarang ini tidak ada orang yang dapat berbicara atas namanya sendiri, sewhinggan tidak ada orang yang betul-betul dewasa , pun tidak mereka yang secara tradisional disebut dewasa, termasuk mereka. Para pemikir Yunani kuno : daripada memakai nama”orng bijaksana” mereka lebih suka disebut “filsuf” artinya orang yang mendambakan bijaksana.
4.      Etos intrinsik dari teknologi
111     :  Menurut kodratnya sendiri tehnologi bertujuan membebaskan manusia dari urusan-urusan materialnya dan dalam hal ini memang semakin berhasil.
112    :    Walaupun situasi teknologis  masih kacau , namun perlu menentukan etos intrinsik teknologi, dapat dikatakan sbb: Bila praksis teknologis yang dituntun ilmu pengetahuan tampak pertama-tama sebagai sarana untuk membebaskan manusia dari keterikatannya dengan dunia material, maka tidak mungkin pembebasan inilah yang paling penting dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan praksis.
5. Ilmu pengetahuan sebagai tujuan
114-115:Ilmu pengetahuan bukan saja sarana tapi juga tujuan. Fungsinya sebagai tujuan harus dapat dilihat, setidak-tidaknya sedikit. Sebab, kegiatan ilmiah merupakan suatu unsur penting dari perkembangan manusia seutuhnya dan karena itu harus sudah dihayati sekarang juga, walaupun fungsinya sebagai sarana paling menyolok.
              Kesimpulan penting untuk menentukan prioritas-prioritas sekarang dngan cara praktis dan efektif, dapat diajukan dua argumen.(1) Manusia tidak pernah dapat dianggap sebagai sarana untuk mencapai tujuan. (2) Menjadi tugas generasi sekarang bukan hanya memajukan ilmu pengetahuan , tapi juga memajukan dengan visi yang tepat.Sehingga manusia tidak menjadi budak teknologi dan budak tata susunan teknologis yang diciptakannya.
6. Pergeseran-pergeseran dari keniscayaan ke kebebasan
116-117:Abad pertengahan disebut artes liberales(seni yang dipraktekan oran bebas)  telah bergeser ke tahap artes serviles( seni ang dipraktekkan budak) . Ilmu pengetahuan adalah kretivitas, Ia selalu membawa wawasan-wawasan yang baru dan lebih baik, tapi dengan itu juga menimbulkan kegembiraan lebih besar bagi mereka yang berkecimpung di bidang ilmiah.
7.Konsekuensi-konsekuensi untuk menentukan prioritas

117:Ilmu pengetahuan bukan saja sarana tapi juga tujuan, dapat ditarik suatu kesimpulan penting hal menentukan prioritas, yaitu prioritas yang harus diberikan kepada kegiatan ilmiah pada umumnya.
[VII. KERJA SAMA ANTARA ILMU-ILMU]
1.      Masa depan yang tidak diketahui
120-121:Kenyataan fundamental bahwa manusia merupakan makhluk yang berpikir  tentang dirinya menuntut agar dalam situasi baru ia berusaha menentukan serealistis mungkin posisinya di masa depan, dengan amengenal masa depan, tentu dapat menggelisahkan  kita. Tradisi sebagai tempat berpijak yang teguh telah hilang dan untuk sementara diganti dengan ketidakpastian, Namun demikian masa depan belum kita kenal, di lain pihak dapat juga membesarkan hati. Sebab, bnyak hal yang nampaknya tidak dapat diubah karena terikat dengan kodrat manusia.
2.      Perlunya mencarikan tendensi-tendensi
122-124:Tendensi ilmu pengetahuan tertuju pada membuka kedok dari kemutlakan-kemutlakan alam seperti itu, yang oleh sejarah diangkat lagi menjadi kemutlakan-kemutlakan budaya. Sebab tujuan ilmu pengetahuan adalah memperoleh pengertian lebih mendalam tentang motif-motif tingkah laku manusia yang diliputi kegelapan, supaya manusia menjadi lebih utuh, lebih dewasa dan lebih bebas. Terdapat pelbagai tendensi yang memberi harapan , betapapun besarnya  kesulitan-kesulitan aktual. Dan mencarika tendensi-tendensi yang diperlihatkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan melanjutkan tendensi dengan sebaik mungkin.
3.      Kerja sama antara ilmu-ilmu teoritis dan ilmu-ilmu praktis
125-129:Ilmu-ilmu teoritis adalah ilmu-ilmu yang dikembangkan terdesak oleh problem-problem yang timbul dalam perspektif ilmu bersangkutan sendiri dalam hubungan timbal balik antara perumusan teori dan pengujian . Ilmu-ilmu praktis adalah ilmu-ilmu yang mendapatkan problem-problem nya dalam realitas konkrit, sebagaimana disajikan dalam praktis, yang umumnya bersifat multidisipliner, tapi terdapat juga macam-macam ilmu monodisipliner atau interdisipliner yang mempunyai kesatuan intern yang cukup besar.Kerja sama dengan praksis dianggap sangat penting, diperlukan untuk menguji teori-teori,dalam praksis nilai khusus manusia tampak dari teori apapun. Tuntutan-tuntutan praksis tidak menghambat tuntutan teori.
4.      Kerja sama antara filsafat, etika, dan ilmu-ilmu positi
130-131:Betapa eratnya kerja sama antara ilmu-ilmu positif serta ilmu-ilmu refleksif dan betapa mereka sangat membutuhkan satu sama lain. Ilmu pengetahuan alam dan teknologi selama perkembangannya memperlihatkan banyak hal tentang hubungan antara manusia dan alam yang mempunyai kosekuensi etis. Mereka membutuhkan filsafat dan etika, yang tidak akan sanggup mencapai visi- visi baru itu.
5.      Andil sejarah
132-134:Dengan mempelajari sejarah kita dapat belajar bagaimana manusia berulang kali gagal, bagimana maksud yang paling luhur sesudah beberapa waktu dirusakkan dan dalam usaha perwujudannya tidak jarang berujung pada yang kebalikannya. Sejarah mengajarkan lagi bahwa periode-periode penuh optimisme ketika dinantikan masa depan gemilang, silih berganti dengan periode penuh pesimisme. Bagi ilmu-ilmu manusia sejarah merupakan sumber informasi yang penting karena berisikan fakta dan analisa terhadap fakta-fakta yang beraneka ragam sehingga dapat menunjukkan determinisme tingkah laku manusia.
6.      Andil ilmu-ilmu manusia
135-136:Ilmu pengetahuan kemanusiaan bertugas untuk memungkinkan manusia mengarahkan diri pada yang dialaminya sebagai kewajiban etis berkat pengetahuan tentang keajekan-keajekan yang menandai kodrat manusia. Ilmu-ilmu manusia akan memeperkecil karak antara keinsafan etis dan kewajiban etis, karena mereka memperluas jangkauan kebebasan dan tanggung jawab manusia.
7. Andil ilmu alam
137      : Andil ilmu alam dalam kerja sama ilmu-ilmu tidak begitu besar, terutama bila kerja sama itu dipandang dari segi sumbangan yang dapat diberikan masing-masing ilmu untuk pengenalan diri dan kebebasan batiniah manusia.
8. Beberapa kesimpulan
138-140:Dari uraian tentang kerja sama antara ilmu-ilmu yang diberikan dapat ditarik dua kesimpulan: pertama, semua ilmu dibutuhkan dan semua ilmu juga membutuhkan satu sama lain untuk dapat mencapai tujuan umum, baik tujuan yang menyangkut ilmu teoritis maupun yang menyangkut ilmu praktis; kedua, ilmu pengetahun dan praksis jelas terlihat tendensi-tendensi yang menunjukkan bahwa hal-hal yang mulanya tampak hampir tidak mungkin lambat laun menjadi mungkin. Pertentangan-pertentangan yang pada mulanya tidak dapat didamaikan, akhirnya dapat diatasi.
[VIII. ILMU PENGETAHUAN DAN KEBIJAKSANAAN]
1.      Ilmu pengetahuan dan pandangan hidup
141-142:Ilmu pengetahuan menurut kodratnya bertugas memberikan manusia sebanyak mungkin kejelasan tentang dirinya. Ilmu pengetahuan menurut kodratnya harus memberikan kejelasan yaitu seluruh aktivitas ilmiah manusia seperti kegiatan ilmiah langsung, praksis, refleksi filosofis, dan etis atau praksis itu.
143      :  Masalah-masalah yang menyangkut pandangan hidup tidak dapat diragukan bahwa sekurang-kurangnya beberapa aspek dapat diselidiki secara ilmiah. Ilmu pengetahuan positif memberikan sumbangan tidak langsung dan sumbangan langsung. Sebab kita mengetahui lebih banyak tentang faktor-faktor yang menguasai tingkah laku manusia perorangan dan sosial, sejauh itu pula akan dapat kita mengerti lebih baik apa yang menguasai atau turut menguasai pilihan–pilihan mendasar di bidang pandangan hidup.
2. Tanpa pamrih
144-146:Tuntutan agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih dapat dirumuskan dengan cara lain, misalnya sebagai obyektivitas, sebagai inter subyektivitas, sebagai cinta akan kebenaran, sebagai kesadaran kritis. Tuntutan agar ilmu pengetahuan itu tanpa pamrih pasti tidak terbatas pada kegiatan ilmiah sejauh langsung berkaitan dengan masalah-masalah pandangan hidup. Tuntutan agar kegiatan ilmiah itu tanpa pamrih dapat disimpulkan bahwa orang yang mempraktekkan ilmu pengetahuan harus mempunyai kesadaran mendalam tentang imlikasi-implikasi etisnya dan implikasi-implikasi etis tidak terbatas pada yang dilihat secara langsung.
3. Kebijaksanaan
147-148:Kegiatan ilmiah dalam bentuk yang didispeliasir meminta kebijaksanaan yang dapat mengkaitkan keinsafan akan keterbatasan metodenya sendiri dengan keinsafan yang tepat akan kedudukannya dalam keseluruhan. Kebijaksanaan tidak mungkin dibatasi pada satu bidang saja tapi harus dianggap sama penting dalam politik dan dalam ilmu pengetahuan.
4.Ilmu pengetahuan, kebijaksanaan, dan keterlibatan dalam masyarakat
149-150:Cita-cita kebijaksanaan berasal dari jaman ketika orde alam maupun orde sosial dianggap sebagai suatu keadaan yang teguh dan tak terguncangkan yang harus diterima begitu saja oleh manusia. Kebijaksanaan mengajak kita agar menerima realitas dan pasrah kepadanya. Integrasi ilmu pengetahuan dengan kebijaksanaan memperlihatkan bahwa sikap pasrah itu bukan titik akhir. Sebaliknya, menerima realitas merupakan titik pangkal yang mengijinkan dan serentak mewajibkan kita untuk mengembangkan kemungkinan-kemungkinan dalam realitas yang sesuai dengan hidup manusia yang lebih sempurna. Kebijaksanaan tidak boleh disamakan dengan sikap pasrah, biar pun kebijaksanaan itu tetap akan menyadari bahwa dalam banyak hal manusia masih tidak berdaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar