Taksonomi-Taksonomi
Pembelajaran
Kata taksonomi
diambil dari bahasa Yunani tassein yang berarti untuk mengelompokkan
dan nomos yang berarti aturan. Taksonomi dapat diartikan sebagai
pengelompokan suatu hal berdasarkan hierarki (tingkatan) tertentu. Di mana
taksonomi yang lebih tinggi bersifat lebih umum dan taksonomi yang lebih rendah
bersifat lebih spesifik.
Taksonomi
Pembelajaran dapat didefinisikan berdasarkan pada asumsi, bahwa program
pendidikan dapat di pandang sebagai suatu usaha mengubah tingkah laku siswa
dengan menggunakan beberapa mata pelajaran. Bila kita uraikan tingkah laku dan
mata pelajaran, kita membuat suatu tujuan pendidikan. Sebagai contoh: siswa
akan dapat mengingat kembali tokoh-tokoh sejarah perjuangan kemerdekaaan
Indonesia.
Taksonomi juga mempunyai arti
klasifikasi berhirarkhi dari sesuatu atau prinsip yang mendasari klasifikasi.
Semua hal yang bergerak, benda diam, tempat, dan kejadian sampai pada kemampuan
berpikir dapat diklasifikasikan menurut beberapa skema taksonomi. Suatu
kegiatan pembelajaran dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, yaitu hasil
belajar berupa perubahan tingkah-laku mahasiswa. Tanpa adanya tujuan
pembelajaran yang jelas, pembelajaran akan menjadi tanpa arah dan menjadi tidak
efektif. Untuk dapat menentukan tujuan pembelajaran yang diharapkan, pemahaman
taksonomi tujuan atau hasil belajar menjadi sangat penting bagi guru
(pendidik). Dengan pemahaman ini guru akan dapat menentukan dengan lebih jelas
dan tegas apakah tujuan pembelajaran lebih bersifat kognitif, dan mengacu
kepada tingkat intelektual tertentu, atau lebih bersifat afektif atau
psikomotor.
Dalam praktik pendidikan di Indonesia, pergeseran tujuan
pembelajaran terasa lebih mengemuka sejalan dengan munculnya gagasan penerapan
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Di lapangan kegiatan merumuskan tujuan
pembelajaran seringkali dikacaukan dengan perumusan indikator pencapaian
kompetensi. Sri Wardani (2008) mengatakan bahwa tujuan pembelajaran merupakan
target pencapaian kolektif, karena rumusan tujuan pembelajaran dapat
dipengaruhi oleh desain kegiatan dan strategi pembelajaran yang disusun guru
untuk siswanya. Sementara rumusan indikator pencapaian kompetensi tidak terpengaruh
oleh desain ataupun strategi kegiatan pembelajaran yang disusun guru, karena
rumusannya lebih bergantung kepada karakteristik Kompetensi Dasar yang akan
dicapai siswa. Di samping terdapat perbedaan, keduanya memiliki titik persamaan
yaitu memiliki fungsi sebagai acuan arah proses dan hasil pembelajaran.
Menurut Anderson dan Krathwohl (2010) Taksonomi
bermanfaat bagi pendidik untuk : (a.) Mengkaji tujuan-tujuan pendidikan dari
kacamata siswa; (b) Memikirkan pelbagai kemungkinan dalam bidang pendidikan;
(c) Melihat hubungan integral antara pengetahuan dan proses kognitif yang inheren
dalam tujuan pendidikan; (d) Memperlihatkan secara lebih jelas konsistensi atau
inkonsistensi antara cara merumuskan tujuan satu unit pembelajaran, cara
mengajarkannya, dan cara mengases pembelajaran siswa. Perbandingan antara
kategorisasi yang didasarkan pada rumusan tujuan, aktivitas pembelajaran, dan
pertanyaan assesmen menunjukkan apakah tahap-tahap pengalaman pendidikan ini
saling bersesuaian dalam sifat dan titik tekannya; (e) Memahami banyak sekali
istilah yang dipakai dalam bidang pendidikan. Sembilan proses kognitif
mempunyai makna yang sangat spesifik. Misalnya proses kognitif “menyimpulkan”
menuntut siswa untuk mengenali pola informasi yang mereka terima, sedangkan
“menjelaskan” menuntut siswa mencari hubungan kausalitas dalam pola informasi
tersebut; (f) Menyusun unit pelajaran atau mata pelajaran sesuai dengan
filosofi guru; (g) Menganalisis asesmen-asesmen eksternal sehingga guru dapat
mengupas elemen-elemen kulit asesmen untuk mengetahui tingkat-tingkat
pembelajaran siswa yang lebih tinggi. Sehingga , guru bukan “mengajarkan untuk
menghadapi tes”, melainkan mengajar siswa untuk pembelajaran yang dites; (h) Menilai
kesesuaian antara tujuan dan pembelajaran. Penempatan tujuan secara tepat dalam
Tabel Taksonomi akan memberikan petunjuk tentang aktivitas pembelajaran yang
sesuai dengan tujuan tersebut; (i) Menilai kesesuaian antara pembelajaran dan
asesmen. Penempatan aktivitas pembelajaran yang sesuai dengan tujuan secara
tepat dalam Tabel Taksonomi akan memberikan petunjuk tentang tugas-tugas
asesmen untuk mendapatkan hasil asesmen yang sesuai dengan tujuan dan aktivitas
pembelajaran tersebut; (j) Menilai kesesuaian antara tujuan dan asesmen. Dengan
cara sebagai berikut: Pertama, identifikasilah tujuan-tujuan pokok unit
pembelajarannya, dan tentukan kotak-kotak Tabel Taksonomi yang relevan. Kedua,
identifikasilah assesmen-asesmen pokokny, dan tentukan kotak-kotak Tabel
taksonomi yang relevan. Perhatikan apakah penekanan pada setiap tujuan
tercermin dalam asesmennya. Jika kotak-kotak dan penekanan yang dihasilkan oleh
dua langkah pertama tidak bersesuaian, berarti memang terdapat ketidaksesuaian
antara tujuan dan asesmennya. Jika kotak-kotak tujuan dan asesmennya sama,
pelajarilah kesesuaian antara aktivitas-aktivitas pembelajaran dan tugas-tugas
asesmennya.
Taksonomi
Bloom
Taksonomi Bloom merujuk pada taksonomi yang dibuat untuk
tujuan pendidikan. Taksonomi ini pertama kali oleh Benjamin S. Bloom dan
kawan-kawan pada tahun 1956. Dalam hal ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi
beberapa domain (ranah, kawasan) dan setiap domain tersebut dibagi
kembali ke dalam pembagian yang lebih rinci berdasarkan hirarkinya.
Tujuan pendidikan dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:
- Cognitive
Domain (Ranah Kognitif), yang berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti pengetahuan,
pengertian, dan keterampilan berpikir.
- Affective
Domain (Ranah Afektif) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek perasaan dan emosi, seperti minat,
sikap, apresiasi, dan cara penyesuaian diri.
- Psychomotor
Domain (Ranah Psikomotor) berisi
perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik seperti
tulisan tangan, mengetik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
1. Domain Kognitif
Kawasan
Konitif adalah kawasan membahas tujuan pembelajaran dengan proses mental yang
berawal dari tingkat pengetahuan ketingkat yang lebih tinggi yakni evaluasi.
Kawasan kognitif terdiri dari 6 tingkatan, yaitu:
a.
Tingkat pengetahuan (knowledge), diartikan
kemampuan seseorang dalam menghafal atau mengingat kembali atau mengulang
kembali pengetahuan yang pernah diterimanya. Contoh: Siswa dapat menggambarkan
satu buah segitiga sembarang.
b.
Pemahaman (comprehension), diartikan kemampuan
seseorang dalam mengartikan, menafsirkan, menerjemahkan, atau menyatakan
sesuatu dengan caranya sendiri tentang pengetahuan yang pernah diterimanya.
Contoh: Siswa dapat menjelaskan kata-katanya sendiri tentang perbedaan bangun
geometri yang berdimensi dua dan berdimensi tiga.
c.
Tingkat penerapan (application), diartikan
kemampuan seseorang dalam menggunakan pengetahuan dalam memecahkan berbagai
masalah yang timbul di kehidupan sehari-hari. Contoh: Siswa dapat menghitung
panjang sisi miring dari suatu segitiga siku-siku jika diketahui sisi lainnya
(Uno, 2008).
d.
Tingkat analisis (analysis), diartikan
kemampuan menjabarkan atau menguraikan suatu konsep menjadi bagian-bagian yang
lebih rinci, memilah-milih, merinci, mengaitkan hasil rinciannya. Contoh: Mahasiswa
dapat menentukan hubungan berbagai variabel penelitian dalam mata kuliah
Metodologi Penelitian.
e.
Tingkat sintetis (synthetis), diartikan
kemampuan menyatukan bagian-bagian secara terintegrasi menjadi suatu bentuk
tertentu yang semula belum ada. Contoh: Mahasiswa dapat menyusun rencana atau
usulan penelitian dalam bidang yang diminati pada mata kuliah Metodologi
Penelitian.
f.
Tingkat evaluasi (evaluation), diartikan
kemampuan membuat penilaian judgment tentang nilai (value) untuk
maksud tertentu. Contoh: Mahasiswa dapat memperbaiki program-program computer
yang secara fisik tampak kurang baik dan kurang efisien pada mata kuliah
Algoritma dan pemrograman (Suparman, 2001).
2.
Domain Afektif
Kawasan
afektif adalah satu domain yang berkaitan dengan sikap, nilai-nilai interest,
apresiasi atau penghargaan dan penyesuaian perasaan sosial. Tingkatan afektif
ini ada 5, yaitu:
a.
Kemauan menerima, berarti keinginan untuk memperhatikan
suatu gejala atau rancangan tertentu seperti keinginan membaca buku, mendengar music,
atau bergaul dengan orang yang mempunyai ras berbeda.
b.
Kemauan menanggapi, berarti kegiatan yang menunjuk pada
partisipasi aktif kegiatan tertentu seperti menyelesaikan tugas terstruktur,
menaati peraturan, mengikuti diskusi kelas, menyelesaikan tugas dilaboratorium
atau menolong orang lain.
c.
Berkeyakinan, berarti kemauan menerima sistem nilai
tertentu pada individu seperti menunjukkan kepercayaan terhadap sesuatu,
apresiasi atau penghargaan terhadap sesuatu, sikap ilmiah atau kesungguhan
untuk melakukan suatu kehidupan sosial.
d.
Penerapan karya, berarti penerimaan terhadap berbagai
sistem nilai yang berbeda-beda berdasarkan pada suatu sistem nilai yang lebih
tinggi, seperti menyadari pentingnya keselarasan antara hak dan tanggung jawab,
bertanggung jawab terhadap hal yang telah dilakukan, memahami dan menerima
kelebihan dan kekurangan diri sendiri.
e.
Ketekunan dan ketelitian, berarti individu yang sudah
memiliki sistem nilai selalu menyelaraskan perilakunya sesuai dengan sistem
nilai yang dipegangnya, seperti bersikap objektif terhadap segala hal.
3.
Domain Psikomotor
Kawasan
psikomotor berkaitan dengan ketrampilan atau skill yang bersikap manual atau
motorik. Tingkatan psikomotor ini meliputi:
a.
Persepsi, berkenaan dengan penggunaan indra dalam
melakukan kegiatan. Contoh: mengenal kerusakan mesin dari suaranya yang
sumbang.
b.
Kesiapan melakukan suatu kegiatan, berkenaan dengan
melakukan sesuatu kegiatan atau set termasuk di dalamnya metal set atau
kesiapan mental, physical set (kesiapan fisik) atau (emotional set)
kesiapan emosi perasaan untuk melakukan suatu tindakan.
c.
Mekanisme, berkenaan dengan penampilan respon yang
sudah dipelajari dan menjadi kebiasan sehingga gerakan yang ditampilkan
menunjukkan kepada suatu kemahiran. Contoh: menulis halus, menari, menata
laboratorium dan menata kelas.
d.
Respon terbimbing, berkenaan dengan meniru (imitasi)
atau mengikuti, mengulangi perbuatan yang diperintahkan atau ditunjukkan oleh
orang lain, melakukan kegiatan coba-coba (trial and error).
e.
Kemahiran, berkenaan dengan penampilan gerakan motorik
dengan ketrampilan penuh. Kemahiran yang dipertunjukkan biasanya cepat, dengan
hasil yang baik namun menggunakan sedikit tenaga. Contoh: tampilan menyetir
kendaran bermotor.
f.
Adaptasi, berkenaan dengan ketrampilan yang sudah berkembang
pada diri individu sehingga yang bersangkutan mampu memodifikasi pada pola
gerakan sesuai dengan situasi dan kondisi tertentu. Contoh: orang yang bermain
tenis, pola-pola gerakan disesuaikan dengan kebutuhan mematahkan permainan
lawan.
g.
Organisasi, berkenaan dengan penciptaan pola gerakan
baru untuk disesuaikan dengan situasi atau masalah tertentu, biasanya hal ini
dapat dilakukan oleh orang yang sudah mempunyai ketrampilan tinggi, seperti
menciptakan model pakaian, menciptakan tarian, komposisi musik (Uno, 2008).
Revisi Taksonomi Bloom
Tingkatan-tingkatan dalam Taksonomi
Bloom tersebut telah digunakan hampir setengah abad sebagai dasar untuk
penyusunan tujuan-tujuan pendidikan, penyusunan tes, dan kurikulum di seluruh
dunia. Kerangka pikir ini memudahkan guru memahami, menata, dan mengimplementasikan
tujuan-tujuan pendidikan. Berdasarkan
hal tersebut Taksonomi Bloom menjadi sesuatu yang penting dan mempunyai
pengaruh yang luas dalam waktu yang lama. Namun salah seorang murid Bloom yang
bernama Lorin W Anderson beserta rekannya merevisi taksonomi Bloom pada
tahun 1990. Hasil perbaikannya dipublikasikan pada tahun 2001 dengan nama
Revisi Taksonomi Bloom dalam bentuk sebuah buku yang berjudul A Taxonomy for Learning, Teaching, and
Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educatioanl Objectives yang
disusun oleh Lorin W. Anderson dan David R. Krathwohl.
Dalam revisi ini ada perubahan kata
kunci, Masing-masing kategori masih diurutkan secara hirarkis dari urutan
terendah ke yang lebih tinggi. Pada ranah kognitif kemampuan berpikir analisis
dan sintesis diintegrasikan menjadi analisis saja. Dari jumlah enam kategori
pada konsep terdahulu tidak berubah jumlahnya karena Lorin memasukan kategori baru
yaitu creating yang sebelumnya tidak ada.
Taksonomi Hasil revisi
Anderson pada Ranah Kognitif adalah:
Mengingat, Kata-kata operasional yang digunakan adalah mengurutkan,
menjelaskan, mengidentifikasi, menamai, menempatkan, mengulangi, menemukan
kembali.
Memahami, Kata-kata operasional yang digunakan adalah menafsirkan,
meringkas mengklasifikasikan, membandingkan, menjelaskan, membeberkan.
Menerapkan, Kata-kata operasional yang digunakan adalah melaksanakan,
menggunakan, menjalankan, melakukan, mempraktekan, memilih, menyusun,
memulai, menyelesaikan, mendeteksi.
Menganalisis, Kata-kata operasional yang digunakan adalah menguraikan,
membandingkan, mengorganisir, menyusun ulang, mengubah struktur,
mengkerangkakan, menyusun outline, mengintegrasikan, membedakan,
menyamakan, membandingkan, mengintegrasikan.
Mengevaluasi, Kata-kata operasional yang digunakan adalah menyusun hipotesi,
mengkritik, memprediksi, menilai, menguji, membenarkan, menyalahkan.
Berkreasi, Kata-kata
operasional yang digunakan adalah merancang, membangun,
merencanakan, memproduksi, menemukan, membaharui, menyempurnakan,
memperkuat, memperindah, menggubah.
Dalam berbagai aspek dan setelah
melalui revisi, taksonomi Bloom tetap menggambarkan suatu proses pembelajaran,
cara kita memproses suatu informasi sehingga dapat dimanfaat dalam kehidupan
sehari-hari. Beberapa prinsip didalamnya adalah (1) Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih
dahulu, (2) Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih
dahulu, (3) Sebelum kita mengevaluasi dampaknya maka kita harus mengukur
atau menilai, (4) Sebelum kita berkreasi sesuatu maka kita harus
mengingat, memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi, serta
memperbaharui.
Pentahapan berpikir seperti itu bisa jadi mendapat
sanggahan dari sebagian orang. Alasannya, dalam beberapa jenis kegiatan, tidak
semua tahap seperti itu diperlukan. Contohnya dalam menciptakan sesuatu tidak
harus melalui pentahapan itu. Hal itu kembali pada kreativitas individu. Proses
pembelajaran dapat dimulai dari tahap mana saja. Namun, model pentahapan itu
sebenarnya melekat pada setiap proses pembelajaran secara terintegrasi. Sebagian
orang juga menyanggah pembagian pentahapan berpikir seperti itu karena dalam
kenyataannya siswa seharusnya berpikir secara holistik. Ketika kemampuan itu
dipisah-pisah maka siswa dapat kehilangan kemampuannya untuk menyatukan kembali
komponen-komponen yang sudah terpisah. Model penciptaaan suatu produk baru atau
menyelesaian suatu proyek tertentu lebih baik dalam memberikan tantangan
terpadu yang mendorong siswa untuk berpikir secara kritis.
(1)
Tingkatan tingkah laku pada taksonomi bloom yang lama menggunakan kata sifat
sedangkan Anderson mengubahnya dengan menggunakan kata kerja.
(2) Tingkatan terendah (C1) Pengetahuan diganti dengan Mengingat.
(3) Tingkatan C5 Sintesa dan tingkatan C6 Evaluasi dilebur menjadi
Mengevaluasi yang berkedudukan pada tingkatan C5. (4) Tingkatan C6
digantikan menjadi Berkreasi.
Mungkin banyak orang bertanya
mengapa buku hebat Taksonomi Bloom harus direvisi?Ada beberapa alasan mengapa Handbook Taksonomi Bloom perlu direvisi,
yakni:
pertama, terdapat
kebutuhan untuk mengarahkan kembali fokus para pendidik pada handbook, bukan
sekedar sebagai dokumen sejarah, melainkan juga sebagai karya yang dalam banyak
hal telah “mendahului” zamannya (Rohwer dan Sloane, 1994). Hal tersebut
mempunyai arti banyak gagasan dalam handbook
Taksonomi Bloom yang dibutuhkan oleh pendidik masa kini karena pendidikan masih
terkait dengan masalah-masalah desain pendidikan, penerapan program yang tepat,
kurikulum standar, dan asesmen autentik.
Alasan kedua adalah adanya kebutuhan untuk memadukan
pengetahuan-pengetahuan dan pemikiran-pemikiran baru dalam sebuah kerangka
kategorisasi tujuan pendidikan. Masyarakat dunia telah banyak berubah sejak
tahun 1956, dan perubahan-perubahan ini mempengaruhi cara berpikir dan praktik
pendidikan. Kemajuan dalam ilmu pengetahuan ini mendukung keharusan untuk
merevisi handbook Taksonomi Bloom.
Alasan yang ketiga adalah taksonomi merupakan sebuah kerangka berpikir khusus
yang menjadi dasar untuk mengklasifikasikan tujuan - tujuan pendidikan. Sebuah
rumusan tujuan pendidikan seharusnya berisikan satu kata kerja dan satu kata
benda. Kata kerjanya umumnya mendeskripsikan proses kognitif yang diharapkan
dan kata bendanya mendeskripsikan pengetahuan yang diharapkan dikuasai oleh
siswa. Taksonomi Bloom hanya mempunyai satu dimensi yaitu hanya kata benda.
Menurut Tyler (1994) rumusan tujuan yang paling bermanfaat adalah rumusan yang menunjukkan jenis perilaku yang akan diajarkan
kepada siswa dan isi pembelajaran yang membuat siswa menunjukkan perilaku itu.
Berdasarkan hal tersebut rumusan tujuan pendidikan harus memuat dua dimensi
yaitu dimensi pertama untuk menunjukkan jenis perilaku siswa dengan menggunakan
kata kerja dan dimensi kedua untuk menunjukkan isi pembelajaran dengan
menggunakan kata benda.
Alasan keempat yaitu proporsi yang tidak sebanding dalam penggunaan
taksonomi pendidikan untuk perencanaan kurikulum dan pembelajaran dengan
penggunaan taksonomi pendidikan untuk asesmen. Pada taksonomi Bloom lebih
memfokuskan penggunakan taksonomi pada asesmen.
Alasan yang kelima adalah pada kerangka pikir taksonomi karya Benjamin Bloom
lebih menekankan enam kategorinya (pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis,
sintesis, dan evaluasi) daripada sub-subkategorinya. Taksonomi Bloom
menjabarkan enam kategori
tersebut secara mendetail, namun kurang menjabarkan
pada subkategorinya sehingga sebagian orang akan lupa dengan sub-subkategori
taksonomi Bloom.
Alasan keenam adalah ketidakseimbangan proporsi subkategori dari taksonomi
Bloom. Kategori pengetahuan dan komprehensi memiliki banyak subkategori namun
empat kategori lainnya hanya memiliki sedikit subkategori.
Alasan ketujuh adalah taksonomi Bloom versi aslinya lebih ditujukan untuk
dosen-dosen, padahal dalam dunia pendidikan tidak hanya dosen yang berperan
untuk merencanakan kurikulum, pembelajaran, dan penilaian. Oleh sebab itu
dibutuhkan sebuah revisi taksonomi yang dapat lebih luas menjangkau seluruh pelaku
dalam dunia pendidikan.
Revisi Taksonomi ini sudah menjawab
permasalahan-permasalahan yang sudah dijelaskan sebelumnya. Akan tetapi Menurut
Anderson dan Krathwohl (2010) Revisi Taksonomi ini masih ada
aspek-aspek yang akan menjadikan kerangka berpikir ini lebih bermanfaat belum
dimasukkan. Sebagian aspek tersebut yang perlu dikaji oleh generasi mendatang
adalah sebagai berikut: (1) Perencanaan dan analisis yang lebih matang; (2)
Hubungan antara tujuan dan pembelajaran; (3) Format Tes pilihan ganda yang tak
kunjung maju; (4) Teori belajar dan kognisi; (5) Hubungan antara ranah
kognitif, afektif dan psikomotor.
Perencanaan dan
Analisis yang lebih Matang
Revisi
Taksonomi membantu guru mempelajari proses analisis, ketika mata pelajaran
diajarkan ulang dalam kelas-kelas yang sangat besar. Kategori-kategori dalam
dalam kerangka pikir ini mendorong guru untuk meluaskan rentang pengetahuan dan
proses kognitif dalam mata pelajaran mereka, yang tentu akan menjadi lebih
berkualitas. Kerangka – kerangka pikir lain boleh jadi memberi manfaat yang
lebih baik untuk kasus-kasus yang lebih sulit dan membutuhkan perencanaan dan
analisis yang lebih matang.
Hubungan
antara Tujuan dan Pembelajaran
Hubungan antara
tujuan dan pembelajaran perlu dikaji secara lebih mendalam. Revisi taksonomi
memang telah menunjukkan contoh ciri-ciri aktivitas pembelajaran yang sesuai
dengan tujuannya, tetapi spesifikasi tujuan belajar tidak otomatis memunculkan
metode pembelajarannya. Para peneliti harus menemukan metode-metode pengajaran,
strategi-strategi pembelajaran, atau kreasi-kreasi guru untuk menciptakan
proses belajar (pembelajaran) dalam lingkungan-lingkungan tertentu.
Kerangka
pikir yang bermanfaat bagi guru ialah kerangka pikir yang memudahkan mereka
menerjemahkan tujuan-tujuan yang abstrak jadi strategi-strategi pengajaran dan
kemudian jadi aktivitas-aktivitas pembelajaran konkret yang membantu siswa
mencapai tujuan-tujuan tersebut. Mungkinkah membuat kerangka pikir baru yang
lebih memudahkan tugas guru tersebut dibandingkan dengan kerangka-kerangka
pikir yang sudah ada? Ini merupakan pertanyaan empiris yang tidak mudah
dijawab.
Format
Tes Pilihan Ganda yang Tak Kunjung Maju
Ciri
penting dari Handbook adalah
penggunaan format tes pilihan ganda secara ekstensif untuk setiap kategori
taksonomi. Bab 5 Handbook memang
memaparkan format-format asesmen, tetapi contoh-contohnya lebih menjelaskan dan
mengilustrasikan jenis-jenis proses kognitif yang diharapkan dalam sebuah
kategori proses ketimbang menunjukkan beragam cara belajar siswa dalam sebuah
kategori.
Teknologi
pengetesan telah berkembang pesat sejak penerbitan Handbook, tetapi tes uraian kurang berkembang. Dalam kata-kata
Sternberg (1997), “ Ada sebuah industri... yang terkecualikan dari arus deras
kemajuan teknologi....” Dia melanjutkan dengan nada ironis, “contoh inovasi...
(seperti diumumkan belum lama ini oleh sebuah perusahaan pengetesan) yang
berupa butir-butir tes kemampuan matematika, bukan butir tes pilihan ganda
melainkan tes uraian (pengisian titik-titik yang kosong)’ (hlm. 1137). Empat
puluh empat tahun setelah penerbitan Handbook,
hanya mencatat sedikit kemajuan dalam tes uraian (Anderson dan
Krathwohl, 2010).
Teori
Belajar dan Kognisi
Idealnya,
dimensi-dimensi dalam kerangka pikir revisi taksonomi dan urutan
kategori-kategorinya didasarkan pada satu teori belajar yang diterima luas dan
fungsional. Temuan-temuan baru dalam teori-teori belajar memberi kontribusi
bagi revisi taksonomi. Meskipun muncul banyak temuan sejak penerbitan Handbook, belum ada sebuah teori
psikologis yang bisa menjadi dasar untuk seluruh proses belajar.
Hubungan
antara Ranah Kognitif, afektif dan Psikomotor
Para
penulis Handbook membagi tujuan
pendidikan menjadi tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotor. Pembagian ini
dikritik karena memisahkan aspek-aspek pada sebuah tujuan- dan hampir setiap
tujuan kognitif mengandung komponen afektif. Misalnya, guru bahasa Indonesia
ingin siswanya tidak hanya belajar mengkritisi karya sastra yang bagus, tetapi
juga belajar menghargainya, mengapresiasinya, dan membuat karya sastra yang
bagus pula. Menjadikan aspek-aspek afektif sebagai bagian dari pembelajaran
dimungkinkan jika taksonomi pendidikan mengintegrasikan ketiga ranah ini.
Karena
hanya merevisi ranah kognitif, revisi taksonomi ini mengesampingkan pemisahan
aspek-aspek ketiga ranah itu, tetapi kategori Pengetahuan Metakognitif dapat
menjembatani integrasi ranah kognitif dan afektif. Hauenstein (1998), misalnya,
membuat taksonomi afektif, taksonomi kognitif, dan juga taksonomi psikomotor.
Akan tetapi, tak satupun kerangka pikir yang ada mengintegrasikan ketiga ranah
itu secara memadai.
Taksonomi SOLO (Structure of the Observed Learning Outcome)
John Biggs dan Kevin Collis pada
tahun 1982 di New York, Amerika Serikat mengembangkan model taksonomi tujuan pembelajaran
yang kemudian dikenal dengan taksonomi SOLO (The
Structure of the Observed Learning Outcome). Taksonomi
ini dikembangkan dengan alasan menyediakan cara yang
sederhana dan
kuat menggambarkan
bagaimana
hasil
belajar
tumbuh
dalam kompleksitas dari permukaan ke dalam untuk konseptual pemahaman' (Biggs dan Collis 1982). Taksonomi
SOLO ini terdiri dari lima tahap yang dapat menggambarkan perkembangan kemampuan
berpikir kompleks pada siswa dan dapat diterapkan di berbagai bidang.
Berikut adalah tahapan respon berpikir berdasar
taksonomi SOLO;
1. Tahap Pre-Structural.
Pada tahap ini siswa hanya memiliki sangat sedikit
sekali informasi yang bahkan tidak saling berhubungan, sehingga tidak membentuk
sebuah kesatuan konsep sama sekali dan tidak mempunyai makna apapun.
2. Tahap Uni-Structural.
Pada tahap ini terlihat adanya hubungan yang jelas dan
sederhana antara satu konsep dengan konsep lainnya tetapi inti konsep tersebut
secara luas belum dipahami. Beberapa kata kerja yang dapat mengindikasi
aktivitas pada tahap ini adalah; mengindentifikasikan, mengingat dan melakukan
prosedur sederhana.
3. Tahap Multi-Structural.
Pada tahap ini siswa sudah memahami beberapa komponen
namun hal ini masih bersifat terpisah satu sama lain sehingga belum membentuk
pemahaman secara komprehensif. Beberapa koneksi sederhana sudah terbentuk namun
demikian kemampuan meta-kognisi belum tampak pada tahap ini. Adapun beberapa
kata kerja yang mendeskripsikan kemampuan siswa pada tahap ini antara lain;
membilang atau mencacah, mengurutkan, mengklasifikasikan, menjelaskan, membuat
daftar, menggabungkan dan melakukan algoritma.
4. Tahap relational.
Pada tahap ini siswa dapat menghubungkan antara fakta
dengan teori serta tindakan dan tujuan. Pada tahap ini siswa dapat menunjukan
pemahaman beberapa komponen dari satu kesatuan konsep, memahami peran
bagian-bagian bagi keseluruhan serta telah dapat mengaplikasikan sebuah konsep
pada keadaan-keadaan yang serupa. Adapun kata kerja yang mengidikasikan
kemampuan pada tahap ini antara lain; membandingkan, membedakan, menjelaskan
hubungan sebab akibat, menggabungkan, menganalisis, mengaplikasikan,
menghubungkan.
5. Tahap Extended Abstract
Pada tahap ini siswa melakukan koneksi tidak hanya
sebatas pada konsep-konsep yang sudah diberikan saja melainkan dengan
konsep-konsep diluar itu. Dapat membuat generalisasi serta dapat melakukan
sebuah perumpamaan-perumpamaan pada situasi-situasi spesifik. Kata-kerja yang
merefleksikan kemampuan pada tahap ini antara lain, membuat suatu teori,
membuat hipotesis, membuat generalisasi, melakukan refleksi serta membangun
suatu konsep.
Perbandingan Taksonomi Bloom dengan Taksonomi SOLO
Berdasarkan
penjelasan di atas maka dapat dibandingkan antara Taksonomi Bloom dengan
Taksonomi SOLO sebagai berikut:
Taksonomi Bloom :
1. Mengklasifikasi tujuan pendidikan pada ranah
kognitif menjadi enam kategori, yaitu pengetahuan (knowledge), pemahaman
(comprehension), aplikasi (apply), analisis (analysis), sintesis (synthesis),
dan evaluasi (evaluation).
2. Taksonomi Bloom digunakan untuk mengukur pencapaian
hasil belajar siswa berdasar pada proses kognitif siswa dalam memahami suatu
masalah. Pencapaian hasil belajar siswa diukur berdasar pada kemampuan siswa
menjawab masalah (instrumen evaluasi) yang sesuai proses kognitif yang akan diukur.
Seorang siswa dipandang telah mencapai proses kognitif yang diinginkan apabila
telah menjawab dengan benar masalah matematika yang sesuai dengan proses
kognitif tersebut. Taksonomi Bloom sering digunakan guru untuk menentukan hasil
belajar yang diinginkan, menentukan proses pembelajaran yang akan dilakukan,
dan menentukan alat evaluasi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah
dirumuskan.
3. Taksonomi Bloom berperan dalam menentukan tujuan
pembelajaran, kemudian dari tujuan tersebut dapat disusun alat evaluasi
(masalah) yang sesuai dengan tujuan tersebut.
Taksonomi SOLO
1. Taksonomi
SOLO mengelompokkan tingkat kemampuan siswa pada lima level berbeda dan
bersifat hirarkis, yaitu level 0: prastruktural (pre-structural), level 1:
unistruktural (uni-structural), level 2: multistruktural (multy-structural),
level 3: relasional (relational), dan level 4: extended abstract.
2. Taksonomi SOLO didesain sebagai suatu alat evaluasi
tentang kualitas respons siswa terhadap suatu tugas. Taksonomi yang digunakan
untuk mengukur kemampuan siswa dalam merespon (baca: menjawab) suatu masalah
dengan cara membandingkan jawaban benar optimal dengan jawaban yang diberikan
siswa. Taksonomi SOLO digunakan untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap
suatu masalah berdasar pada kompleksitas pemahaman atau jawaban siswa terhadap
masalah yang diberikan.
3. Taksonomi SOLO berperan menentukan kualitas respon
siswa terhadap masalah tersebut. Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai
alat menentukan kualitas jawaban siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh
dari hasil jawaban siswa, selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian
proses kognitif yang ingin diukur oleh alat evaluasi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas,
perbedaan model -model taksonomi tujuan pembelajaran tersebut dilandasi oleh
cara pandang berbeda dalam melihat tujuan pendidikan. Biggs dan Collis (1982)
mendesain taksonomi SOLO sebagai suatu alat evaluasi tentang kualitas respons
siswa terhadap suatu tugas. Taksonomi yang digunakan untuk mengukur kemampaun
siswa dalam merespon (baca: menjawab) suatu masalah dengan cara membandingkan
jawaban benar optimal dengan jawaban yang diberikan siswa. Taksonomi SOLO
digunakan untuk mengukur kualitas jawaban siswa terhadap suatu masalah berdasar
pada kompleksitas pemahaman atau jawaban siswa terhadap masalah yang diberikan.
Taksonomi Bloom digunakan untuk
mengukur pencapaian hasil belajar siswa berdasar pada proses kognitif siswa
dalam memahami suatu masalah. Pencapaian hasil belajar siswa diukur berdasar
pada kemampuan siswa menjawab masalah (instrumen evaluasi) yang sesuai proses
kognitif yang akan diukur. Seorang siswa dipandang telah mencapai proses
kognitif yang diinginkan apabila telah menjawab dengan benar masalah matematika
yang sesuai dengan proses kognitif tersebut. Taksonomi Bloom sering digunakan
guru untuk menentukan hasil belajar yang diinginkan, menentukan proses
pembelajaran yang akan dilakukan, dan menentukan alat evaluasi yang sesuai
dengan tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan (Anderson et. al., 2001).
Taksonomi Bloom berperan dalam
menentukan tujuan pembelajaran, kemudian dari tujuan tersebut dapat disusun
alat evaluasi (masalah) yang sesuai dengan tujuan tersebut. Sedangkan taksonomi
SOLO berperan menentukan kualitas respon siswa terhadap masalah tersebut.
Artinya taksonomi SOLO dapat digunakan sebagai alat menentukan kualitas jawaban
siswa. Berdasarkan kualitas yang diperoleh dari hasil jawaban siswa,
selanjutnya dapat ditentukan kualitas ketercapaian proses kognitif yang ingin
diukur oleh alat evaluasi tersebut. Berdasarkan peran yang berbeda ini, kedua
model taksonomi seharusnya digunakan bersama-sama sebagai alternatif sistem
evaluasi yang saling melengkapi. Selanjutnya dapat dibuat sistem taksonomi baru
dua dimensi. Dimensi pertama adalah ”masalah matematika” yang didesain berdasar
taksonomi Bloom, sedangkan dimensi kedua adalah ”kualitas respon terhadap
masalah” berdasar pada taksonomi SOLO.
Penerapan taksonomi
SOLO untuk mengetahui kualitas respon siswa dan analisa kesalahan sangatlah
tepat, sebab taksonomi SOLO mempunyai beberapa kelebihan sebagai berikut:
a. Taksonomi SOLO merupakan alat yang mudah dan
sederhana untuk menentukan level respon siswa terhadap suatu pertanyaan
matematika.
b. Taksonomi SOLO merupakan alat yang mudah dan
sederhana untuk pengkategorian kesalahan dalam menyelesaikan soal atau
pertanyaan Matematika.
c. Taksonomi
SOLO merupakan alat yang mudah dan sederhana untuk
menyusun dan menentukan tingkat kesulitan atau kompleksitas suatu soal atau
pertanyaan matematika.
Selain kelebihan tersebut, Watson juga berpendapat bahwa
taksonomi SOLO dan peta respon sangat cocok digunakan dalam kontek yang terjadi
dalam pengajaran termasuk bagaimana pertanyaan atau soal disusun. Menurut Collis,
kegunaan taksonomi SOLO untuk menyusun butir soal dan untuk interpretasi respon
siswa sangat nyata. Dalam tulisan lain Collis berpendapat bahwa pendekatan
model respon dari taksonomi SOLO sangat berguna bagi pendidik dan peneliti
untuk mendiskripsikan level penalaran siswa yang berkaitan dengan tugas-tugas. Menurut Biggs (1982), taksonomi SOLO dapat digunakan tidak hanya dalam penilaian, namun dalam merancang kurikulum dalam hal hasil
pembelajaran
dimaksudkan, yang membantu dalam melaksanakan keselarasan konstruktif.
Taksonomi
Fink
Berbeda
dengan taxonomy bloom dan SOLO, L. Dee Fink
berasal dari Oklahoma, Amerika Serikat pada tahun 2003 menyajikan sebuah
taxonomy yang tidak hirarkis. Fink mengembangkan
Taksonomi ini dengan alasan untuk mengembangkan
bahasa dan kerangka
kerja konseptual untuk mengidentifikasi
beberapa cara di mana pembelajaran
bisa menjadi signifikan, sehingga guru dapat memutuskan mana dari berbagai macam signifikan
belajar yang mendukung dan mempromosikan di pembelajaran tertentu atau pengalaman belajar. Dalam tambahannya,Taksonomi
Fink meliputi bagian-bagian lintas domain dan luas kecuali pada domain Psikomotor. Ini mirip dengan taxonomy
Anderson yang menekankan pada metakognitif ( belajar untuk belajar) dan juga termasuk
aspek-aspek yang lebih efektif
seperti dimensi kemanusiaan dan cinta kasih: mengidenfikasi/perubahan perasaan
seseorang.
Dalam
Taksonomi Fink terdapat 6 dimensi, yaitu : (1) Dimensi Pengetahuan Dasar: yang
meliputi memahami dan mengingat. Kata kerjanya adalah daftar, nama dan
penjelasan; (2) Dimensi Penerapan: Berpikir kritis, kreatif dan praktis;
memecahkan masalah. Kata kerjanya adalah menganalisis, menginterpretasikan dan
menerapkan; (3) Dimensi Penyatuan: menghubungkan antar ide, gagasan, subyek dan
orang. Kata kerjanya adalah menjelaskan, menyatukan; (4) Dimensi Kemanusiaan:
belajar tentang dan perubahan diri seseorang, memahami dan berinteraksi dengan
yang lainnya, Kata kerjanya adalah merefleksi dan menilai; (5) Dimensi Kasih
sayang: mengidentifikasi/perubahan perasaan, kepentingan dan nilai-nilai
seseorang. Kata kerjanya adalah: refleksi dan interpretasi; (6) Dimensi Belajar
untuk belajar: belajar bagaimana menjawab dan bertanya, menjadi pebelajar yang
memiliki self-directed. Kata kerjanya adalah mengkritisi dan menganalisis.
Taksonomi
Marzano
Robert J. Marzano (2000), seorang peneliti pendidikan terkemuka berasal dari
Colorado, Amerika Serikat telah mengusulkan apa yang disebutnya “Sebuah
Taksonomi Baru dari Tujuan Pendidikan”. Dikembangkan untuk menjawab
keterbatasan dari taksonomi Bloom yang telah digunakan secara luas serta
situasi terkini, model kecakapan berpikir yang dikembangkan Marzano memadukan
berbagai faktor yang berjangkauan luas, yang mempengaruhi bagaimana siswa
berpikir, dan menghadirkan teori yang berbasis riset untuk membantu para guru
memperbaiki kecakapan berpikir para siswanya.
Robert Marzano (2001) menstruktur dan mengkonsep kembali
hirarki Bloom menjadi 6 kategori yang berbeda. Taksonomi Bloom dikembangkan
sebagai hirarki dari dasar pemikiran atau dasar proses akademik, sedangkan
Marzano menggabungkan dasar-dasar itu dari tingkat berfikir pada proses
kognitif dan proses metakognitif, sebagaimana konsep-konsep tadi berhubungan
dengan manfaatnya, motivasinya, serta emosi sebagai pendukung. Berikut enam
level yang dikemukakan oleh Robert Marzano.
Sistem
|
Level
|
Deskripsi
|
Kognitif
|
1.
Retrieval
|
Proses
dari prosedur pengetahuan, mengingat kembali atau melakukan, tanpa pemahaman.
|
2.
Comprehension
|
Proses
dari urutan atau struktur pengetahuan, sintesis/lamgkah-langkah dan
gambarannya secara mendasar untuk pemahaman dasar atau pemahaman awal.
|
3.
Analisis
|
Proses
mengakses dan menguji pengetahuan mengenai persamaan dan perbedaan, hubungan
pangkat atas dan pangkat bawah, mendiagnosa kesalahan, atau logika yang
konsekuen, atau prinsip yang dapat diduga.
|
4.
Utilization
|
Proses
dalam penggunaan pengetahuan darimana masalah bisa disikapi atau dipecahkan,
investigasi dapat direncanakan, keputusan dan aplikasi dapat diperoleh.
|
Metakognitif
|
5.
Metakognisi
|
Proses
untuk memonitor apa dan bagaimana pengetahuan yang baik bisa dimengerti,
pengujian yang secara sadar terhadap proses-proses kognitif untuk melihat
apakah proses-proses tersebut mempengaruhi tujuan-tujuan yang akan dicapai.
|
Self-system
|
6.
Self
|
Proses
mengidentifikasi respon/ rangsangan emosi, melatih persepsi, motivasi, dan
manfaatnya pada kepercayaan terhadap pengetahuan awal.
|
Secara nyata, taksonomi ini bergerak (a) dari cara yang
sederhana ke proses yang lebih komplit baik informasi atau
prosedur-prosedurnya, (b) dari kesadaran yang kurang ke kesadaran yang lebih
tentang pengontrolan yang lebih terhadap proses pengetahuan dan bagaimana
menyusun atau menggunakannya, dan (c) dari kurangnya keterlibatan personal atau
komitmen terhadap kepercayaan yang besar secara terpusat dan refleksi dari
identitas seseorang.
Enam
tingkatan/level tersebut juga berinteraksi dengan apa yang disebut Marzano
“tiga pengetahuan awal”, yaitu:
- Informasi,
mencakup: kosakata, isi secara lengkap atau prinsip.
- Prosedur
mental, mencakup: recalling, mengklasifikasikan secara umum,
memonitor metakognitif, dan sebagainya.
- Presedur
psikomotor, mencakup: keahlian dan kecakapan/penampilan.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Lorin W et al. Kerangka
Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Asesmen Revisi Taksonomi.
2010. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Anggraini, Erda, 2013, Taksonomi Marzano, Sumber : http://renee.web.id/taksonomi-marzano.html
diunduh pada tanggal 26 Juli 2013
Aslan, Christian. 2012,
Contoh dalam Taksonomi, Sumber:
http://biology- knowledges.blogspot.com/2012/04/contoh-dalam-taksonomi.html
diunduh pada tanggal 27 Juli 2013
Biggs, John.1982. Solo Taxonomy.
Sumber: http://www.johnbiggs.com.au/academic/solo-taxonomy/ diunduh pada
tanggal 30 Juli 2013
___________.1995. Assesing for
learning: Some dimensions underlying new approaches to
educational assesment . The
alberta Journal of Educational Research 41 (1). Sumber: http://www.tedi.uq.edu.au/downloads/Biggs_SOLO.pdf
diunduh pada tanggal 27 Juli 2013.
Fink, L Dee, 2003, What is
Significant Learning? , Sumber: http://www.wcu.edu/WebFiles/PDFs/facultycenter_SignificantLearning.pdf
diunduh pada tanggal 30 Juli 2013
Gunawan, Imam. 2012, Taksonomi Bloom–Revisi Ranah Kognitif : Kerangka
Landasan untuk Pembelajaran, Pengajaran, dan Penilaian, Sumber:
http://www.ikippgrimadiun.ac.id/ejournal/sites/default/files/2_Imamgun%20&%20Anggarini_Taksonomi%20Bloom%20%E2%80%93%20Revisi%20Ranah%20Kognitif%20Kerangka%20Landasan%20untuk%20Pembelajaran,%20Pengajaran,%20&%20Penilaian.pdf diunduh pada tanggal 29 Juli 2013
Hamalik,
Oemar, 2009, Dasar-dasar Pengembangan
Kurikulum, Bandung: PT Remaja Rosdakarya cetakan ketiga, hal 138-139.
Hamsa,
Ali, 2012, Revisi Taksonomi Bloom.
Sumber : http://alief-hamsa.blogspot.com/2012/11/revisi-taksonomi-bloom.html
diunduh pada tanggal 23 Juli 2013
Hasanah, 2009, Taksonomi
Solo, Sumber: http://hasanahworld.wordpress.com/tag/taksonomi-solo/ diunduh
pada tanggal 26 Juli 2013
Iobsevation, 2013, Dr. Robert J. Marzano Biography, Sumber: http://www.iobservation.com/Marzano-Suite/Biography/
diunduh pada tanggal 27 Juli 2013
Knowing, 2012, Revisi Taksonomi Bloom, Sumber:
http://share-pangaweruh.blogspot.com/2012/07/revisi-taksonomi-bloom.html diunduh pada tanggal 29 Juli 2013
Ktkyasa, 2012, Taxonomy dalam
Pembelajaran, Sumber: http://ktkyasa.blogspot.com/2012_07_01_archive.html
diunduh pada tanggal 26 Juli 2013
Optimus Education, 2013, Helping Student Progress Using SOLO Taxonomy. Sumber :http://www.optimus-education.com/helping-students-progress-using-solo-taxonomy
diunduh pada tanggal 30 Juli 2013
Prasmala, Erfitra Rezqi. 2011, Perbandingan
Taksonomi Bloom, Bloom Revisi, SOLO, Sumber : http://oursketsa.blogspot.com/2011/02/perbandingan-taksonomi-bloom-bloom.html
diunduh pada tanggal 26 Juli 2013
Rahmi, Ulfia. 2011, Taksonomi Tujuan Pembelajaran, Sumber: http://tepenr06.wordpress.com/2011/09/13/taksonomi-tujuan-pembelajaran/
diunduh pada tanggal 21 Juli 2013
Rokhim, 2013, Taksonomi
Pembelajaran, Sumber:http://www.rokhim.net/2013/04/taksonomi-pembelajaran.html diunduh pada tanggal 21 Juli 2013
Shvoong, 2012, Kelebihan Taksonomi Solo, Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2256043-kelebihan-taksonomi-solo/#ixzz2aJZQgAfk diunduh pada tanggal 27 Juli 2013
Suparman,
Atwi, 2001, Desain Instruksional,
Jakarta:PAU-PPAI, Universitas Terbuka, hal.78-92.
Tohari, Khamim. 2006, Mengukur Kualitas
Pembelajaran Matematika Dengan Gabungan Taksonomi Bloom dan SOLO, Sumber:
http://bdksurabaya.kemenag.go.id/file/dokumen/SOLO.pdf diunduh pada tanggal 22 Juli 2013
Uno,
Hamzah, 2008, Perencanaan Pembelajaran,
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Vaniercollege,
2013, Teaching Tip : Learning with
Marzano. Sumber:
http://www.vaniercollege.qc.ca/pdo/2013/04/teaching-tip-learning-with-marzano/
diunduh pada tanggal 30 Juli 2013
Widodo,
Ari. 2005. Taksonomi Tujuan Pembelajaran.
Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA. Universitas Pendidikan Indonesia.
Wikipedia, 2013, Kategori:Taksonomi,
Sumber:
http://id.wikipedia.org/wiki/Taksonomi diunduh pada tanggal 21 Juli 2013