Namaku adalah Doni. Aku berasal dari sebuah kota kecil yang
diapit dua gunung. Aku sangat senang tinggal
di daerah yang sejuk seperti ini. Aku saat ini tinggal bersama keluargaku di
sebuah rumah yang bersahaja. Ayahku seorang PNS. Tepatnya adalah seorang guru
SD. Setiap pagi ayahku berangkat ke tempat kerjanya pukul 06.00. Menuju ke
sekolahnya dia hanya berjalan kaki. Ayahku memang tidak pernah mengendarai
kendaraan bermotor.
“ Selamat pagi nak,
ayah berangkat dulu ya.”sapa ayah di suatu pagi.
“Hati-hati ya,Yah”.Jawabku
Aku juga pernah ikut
ayah ke tempatnya bekerja. Selain tidak bisa dilewati kendaraan bermotor karena
medannya yang sulit. Jalannya naik turun, sempit dan licin di saat musim
penghujan.
Seperti biasa ayahku berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali.
Sesampai di sekolah, ayahku mengajar muridnya dengan penuh kesabaran. Murid
ayahku cuma 10 orang yang terdiri dari 3 laki-laki dan 7 perempuan. Kebanyakan
dari mereka sekolah tidak memakai sepatu. Maklum tempat ayahku mengajar tergolong
daerah terpencil dan para penduduknya masih banyak yang di bawah garis
kemiskinan. Dengan kondisi seperti ini, dibutuhkan guru yang sangat sabar dalam
mendidiknya.
Sesampainya di sekolah ayahku mengucapkan salam kepada
murid-muridnya.
“Selamat pagi
anak-anak”.
“Selamat pagi
Pak.”Jawab murid-murid serempak.
“Ya, sebelum mulai
pelajaran mari kita berdoa dulu, ayo Budi pimpin teman-temanmu untuk berdoa!”
“Baik Pak, mari kita
berdoa!”Jawab Budi sang ketua kelas.
Merekapun akhirnya
berdoa.
Setelah selesai ayahku
mulai mengabsen murid-muridnya satu-persatu. Ternyata pagi itu ada muridnya yang
tidak masuk karena sakit yaitu Iwan.
“Lho Iwan Sakit apa?”
tanya ayah.
“Dia sakit gatal-gatal
pak. Seluruh badannya bernanah.”
“Oh ya, kasihan sekali.
Ya nanti kalau sudah pelajaran selesai
kita jenguk Iwan di rumahnya.
“Baik pak.”Jawab para
murid.
Sesuai dengan rencana. Setelah pelajaran selesai, ayah dan
murid-muridnya pergi ke rumah Iwan. Sesampai di sana, mereka melihat Iwan
terbaring sakit menahan gatal yang menyerangnya. Bau amis juga terasa, tak
sedikit dari mereka yang menutup hidung ataupun yang mau muntah karena melihat
kondisi ini.
“Ini sakit apa pak?”
Kata ayah kepada bapak Iwan.
“Gatal-gatal pak.”
Jawab bapak Iwan.
“Kenapa tidak diobati?”
“Puskesmas kan jauh pak
dari sini, kebetulan saya juga tidak punya uang.”
Ayahkupun iba melihat
kondisi Iwan yang menahan sakit. Ayahpun menawarkan untuk mengobati Iwan.
“Pak kalau boleh saya
mau mengobati Iwan?”
“Boleh pak, saya malah
mengucapkan banyak terima kasih.”
“Saya akan berusaha
pak, dan jangan lupa bapak juga berdoa karena Tuhan yang memberikan
kesembuhan.”
‘Ya pak.”
Ayahkupun mulai mengobati Iwan. Beliau mengeluarkan kotak
obat dari tasnya. Diambilkannya sebuah botol berisi obat gatal. Ayah memang mempunyai
persediaan obat yang dibelinya dengan uangnya sendiri. Obat itu selalu disimpan
di sekolah dan akan diberikan apabila ada yang membutuhkan.
“Ini obatnya, dioleskan
di daerah yang gatal ya Wan!”
“Ya Pak Guru. Terima
kasih. “Jawab Iwan
Selang beberapa hari, Iwanpun sudah sembuh dan bisa masuk
seperti biasa. Ternyata warga di desa itu sudah tahu kalau ayahku seorang guru
tapi juga sering diminta bantuan oleh warga yang sakit. Banyak warga yang sakit
dapat disembuhkan dan ayah membantu warga dengan tulus.
Pernah aku bertanya kepada ayah.
“Kenapa ayah sering
menolong orang?”tanyaku.
“Don, kita semua
sebagai mahluk Tuhan wajib menolong sesama.”Jawab ayah.
“Kalau mereka tidak
membalas kebaikan kita?”
“Kamu jangan
mengharapkan balasan atau pujian. Lihatlah pohon besar itu!” Kata ayah sambil
menunjuk pohon besar di depan rumah.
“Ada apa dengan pohon
itu?”
“Orang hanya melihat
atau memuji pohon itu besar saja, tetapi tidak memperhatikan akar-akar yang ada
di bawahnya yang sangat besar jasanya sehingga menjadikan pohon itu tumbuh
menjadi besar.”
“Iya ya yah, akar tidak
kelihatan karena terpendam di dalam tanah tetapi mempunyai jasa yang sangat
besar.”
“Nah Don, belajarlah dari
ketulusan akar-akar itu.”
“Ya ayah.”Jawabku.
Aku telah mendapatkan
pelajaran yang berharga akan arti sebuah ketulusan. Aku sangat bangga mempunyai
ayah yang sangat tulus menolong orang. Ini menjadi teladan yang baik untukku.
S E K I A N
Tri Sadono
Guru SD Negeri Margolelo
Kecamatan Kandangan
(Cerpen ini telah merupakan salah
satu bagian kumpulan cerpen yang telah dibukukan dengan judul “Kepada Ayah #4” yang diterbitkan
oleh Penerbit Harfeey Yogyakarta dengan ISBN : 978-602-7876-45-3 )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar