The Most Popular Traffic Exchange

Kamis, 19 Desember 2013

Ketulusan Ayahku



          Namaku adalah Doni. Aku berasal dari sebuah kota kecil yang diapit dua gunung. Aku sangat senang  tinggal di daerah yang sejuk seperti ini. Aku saat ini tinggal bersama keluargaku di sebuah rumah yang bersahaja. Ayahku seorang PNS. Tepatnya adalah seorang guru SD. Setiap pagi ayahku berangkat ke tempat kerjanya pukul 06.00. Menuju ke sekolahnya dia hanya berjalan kaki. Ayahku memang tidak pernah mengendarai kendaraan bermotor.
“ Selamat pagi nak, ayah berangkat dulu ya.”sapa ayah di suatu pagi.
“Hati-hati ya,Yah”.Jawabku
Aku juga pernah ikut ayah ke tempatnya bekerja. Selain tidak bisa dilewati kendaraan bermotor karena medannya yang sulit. Jalannya naik turun, sempit dan licin di saat musim penghujan.
          Seperti biasa ayahku berangkat ke sekolah pagi-pagi sekali. Sesampai di sekolah, ayahku mengajar muridnya dengan penuh kesabaran. Murid ayahku cuma 10 orang yang terdiri dari 3 laki-laki dan 7 perempuan. Kebanyakan dari mereka sekolah tidak memakai sepatu. Maklum tempat ayahku mengajar tergolong daerah terpencil dan para penduduknya masih banyak yang di bawah garis kemiskinan. Dengan kondisi seperti ini, dibutuhkan guru yang sangat sabar dalam mendidiknya.
          Sesampainya di sekolah ayahku mengucapkan salam kepada murid-muridnya.
“Selamat pagi anak-anak”.
“Selamat pagi Pak.”Jawab murid-murid serempak.
“Ya, sebelum mulai pelajaran mari kita berdoa dulu, ayo Budi pimpin teman-temanmu untuk berdoa!”
“Baik Pak, mari kita berdoa!”Jawab Budi sang ketua kelas.
Merekapun akhirnya berdoa.
Setelah selesai ayahku mulai mengabsen murid-muridnya satu-persatu. Ternyata pagi itu ada muridnya yang tidak masuk karena sakit yaitu Iwan.
“Lho Iwan Sakit apa?” tanya ayah.
“Dia sakit gatal-gatal pak. Seluruh badannya bernanah.”
“Oh ya, kasihan sekali. Ya  nanti kalau sudah pelajaran selesai kita jenguk Iwan di rumahnya.
“Baik pak.”Jawab para murid.
          Sesuai dengan rencana. Setelah pelajaran selesai, ayah dan murid-muridnya pergi ke rumah Iwan. Sesampai di sana, mereka melihat Iwan terbaring sakit menahan gatal yang menyerangnya. Bau amis juga terasa, tak sedikit dari mereka yang menutup hidung ataupun yang mau muntah karena melihat kondisi ini.
“Ini sakit apa pak?” Kata ayah kepada bapak Iwan.
“Gatal-gatal pak.” Jawab bapak Iwan.
“Kenapa tidak diobati?”
“Puskesmas kan jauh pak dari sini, kebetulan saya juga tidak punya uang.”
Ayahkupun iba melihat kondisi Iwan yang menahan sakit. Ayahpun menawarkan untuk mengobati Iwan.
“Pak kalau boleh saya mau mengobati Iwan?”
“Boleh pak, saya malah mengucapkan banyak terima kasih.”
“Saya akan berusaha pak, dan jangan lupa bapak juga berdoa karena Tuhan yang memberikan kesembuhan.”
‘Ya pak.”
          Ayahkupun mulai mengobati Iwan. Beliau mengeluarkan kotak obat dari tasnya. Diambilkannya sebuah botol berisi obat gatal. Ayah memang mempunyai persediaan obat yang dibelinya dengan uangnya sendiri. Obat itu selalu disimpan di sekolah dan akan diberikan apabila ada yang membutuhkan.
“Ini obatnya, dioleskan di daerah yang gatal ya  Wan!”
“Ya Pak Guru. Terima kasih. “Jawab Iwan
          Selang beberapa hari, Iwanpun sudah sembuh dan bisa masuk seperti biasa. Ternyata warga di desa itu sudah tahu kalau ayahku seorang guru tapi juga sering diminta bantuan oleh warga yang sakit. Banyak warga yang sakit dapat disembuhkan dan ayah membantu warga dengan tulus.
          Pernah aku bertanya kepada ayah.
“Kenapa ayah sering menolong orang?”tanyaku.
“Don, kita semua sebagai mahluk Tuhan wajib menolong sesama.”Jawab ayah.
“Kalau mereka tidak membalas kebaikan kita?”
“Kamu jangan mengharapkan balasan atau pujian. Lihatlah pohon besar itu!” Kata ayah sambil menunjuk pohon besar di depan rumah.
“Ada apa dengan pohon itu?”
“Orang hanya melihat atau memuji pohon itu besar saja, tetapi tidak memperhatikan akar-akar yang ada di bawahnya yang sangat besar jasanya sehingga menjadikan pohon itu tumbuh menjadi besar.”
“Iya ya yah, akar tidak kelihatan karena terpendam di dalam tanah tetapi mempunyai jasa yang sangat besar.”
“Nah Don, belajarlah dari ketulusan akar-akar itu.”
“Ya ayah.”Jawabku.
Aku telah mendapatkan pelajaran yang berharga akan arti sebuah ketulusan. Aku sangat bangga mempunyai ayah yang sangat tulus menolong orang. Ini menjadi teladan yang baik untukku.


S E K I A N




Tri Sadono
Guru SD Negeri Margolelo
Kecamatan Kandangan
(Cerpen ini telah merupakan salah satu bagian kumpulan cerpen yang telah dibukukan dengan judul “Kepada Ayah #4”  yang diterbitkan oleh Penerbit Harfeey Yogyakarta dengan ISBN : 978-602-7876-45-3 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar