Prof. Dr. C. A. Van Peursen, Susunan
Ilmu Pengetahuan
Jakarta
(PT Gramedia) 1985, 121 hlm
Bab
I : Masalah Ilmu; hlm 1-15;
Bab
II : Membatasi Ilmu; hlm 16-27;
Bab
III : Susunan Ilmu; hlm 28-42;
Bab
IV : Teori Ilmiah; hlm 43-62;
Bab
V : Ilmu dalam Konteks; hlm
63-78;
Bab
VI : Filsafat Ilmu; hlm 79-95;
Bab
VII : Strategi Ilmu;hlm 96-114.
[I.
MASALAH ILMU]
Filsafat
Ilmu, Apakah Memang Ada?
1 : Perdebatan
tentang ilmu dan filsafat muncul sejak awasl. Meski dahulu, ilmu merupakan
bagian dari filsafat, definisinya bergantung pada sistem filsafat yang dianut
dan lama kelamaan ilmu memperoleh posisi yang lebih bebas dan akhirnya mandiri.
(hal 1). Jika dilihat dari implementasi ilmu dengan metodologi yang digunakan
maka pokok definisi ilmu ialah masalah pembatasan atau demarkasi ilmu.
1 : Begitu
kuatnya peran ilmu dalam menentukan cara dan kehidupan manusia, definisi ilmu
semakin sukar dirumuskan. Menurut van Peursen, hal ini dilingkupi oleh beberapa
faktor seperti masalah pertama apakah ilmu sebagai ilmu? atau hanya ahli ilmu
yang bertanggung jawab? Kedua, Bagaimana hubungan ilmu dengan etika? Ketiga,
apakah semua ilmu dapat di satukan dalam satu metofologi? Keempat, apakah ilmu
itu lurus lurus saja atau berliku liku? Bagaimana hubungan antara petunjuk
metodologis dengan pembaruan kreatif?
2 : Filsafat
ilmu mencakup dua kecondongan tertentu. yaitu pertama tendensi
metafisik; berhaluan pada menyelidiki dasar dasar ilmu.
3 : Metafisik
diartikan interaksi dengan data di luar ilmu, suatu interaksi yang diterima
oleh semua dengan strukturnya. Tokoh tokoh utama dalam kecenderungan ini adalah
Aristoteles, Colling wood, Newton dan Emanuel Kant, Descrates dan Russel. Kedua,
kecondongan metodologik. Ilmu disempadani pada apa yang terletak diluar pagar.
4-6 : Secara
kekinian masalah kontekstualisasia ilmu menjadi masalah yang menarik, terkait pertama
ilmu dengan ideology. Tentang (1). ilmu bebas nilai dan obyektif.
Ahli ilmu mengarahkan fakta-fakta psikis, politik dan sosial disebut juga
pendapat positivistis. (2). Ilmu tidak bebas nilai dan tidak boleh
menjadi bebas nilai (ideologis). Dipihak lain Ilmu juga merupakan hasil
struktural dari pengamatan dan penalaran manusiawi dan refleksinya berubah
sesuai dengan struktur-struktur dasar suatu kebudayaan. Tokoh utama adalah
marxisme dan neo-marxisme.
Kedua, ilmu dan
etika. Ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin menjalin,
konsisten, taat asas dan benar tidaknya dapat ditentukan. Etika dapat berperan
dalam tingkah laku ilmuwan, etika mulai pada saat ilmu berhenti. Meski demikian
ilmu tetap berkembang dan selalu mempunyai arah sendiri. Meski ada tanggung
jawab etika ilmuan.
7 :
Ilmu Berkembang, ilmu tidak abadi
melainkan berubah. Artinya belum ada ilmu yang selesai (trivial). Yang
mempengaruhi adalah pertama penyelidikan mengenai sejarah ilmu-ilmu pada
pengertian dan arti ilmu. Istilah akan berbeda pada waktu berlainan. Kedua
antropologi budaya/kulturologi. Temuan ilmu baru karena gabungan dari berbagai
ilmu dari dunia ide yang berkembang.
Ilmu
merupakan suatu sistem kait-mengkait mengenai pernyataan-pernyataan yang tetap
sahih lepas dari mekanisme nyata yang memungkinkan upaya berfikir para ilmuwan.
Ilmu harus dinilai berdasarkan tuntutannya akan kesahihan dan tidak berdasarkan
keadaan nyata yang bersifat psikologis atau sosiologis.
8 : Ada dua pandangan yang bertolak belakang
antara tuntutan kesahihan salah satu sistem ilmiah dengan keadaan nyata
historis dan kebudayaan. Bidang masalah tersebut saling erat kaitanya dengan:
1. Ilmu dan ideologi, 2. Ilmu dan etika, 3. Ada tidaknya kemajemukan metode..
9 : Pertama,
merujuk mahzab dialektis dalam filsafat ilmu (G. Bachelard, F. Gonserth, P.
Bernays). Perkembangan ilmu tidak mengikuti garis lurus. Kemajuan ilmiah
terdiri dari pembaharuan kerangka teori (menyetujui dan menolak). Atau dalam
istilah marxisme adalah proses dialektika.
9 : Kedua,
ilmu tidak berkembang secara malar (berkesinambungan) tetapi berjalan tersendat
sendat berdasarkan ideology, dialektika dan kontradiksi yang ada. Tokoh utama
adalah strukturalis dari Prancis, M. Foucault.
10 : Ketiga,
ilmu berkembang secara revolusioner tidak sekedar berdialektika. Bahwa penyahihan
sebuah metode ilmu tidak sama dari waktu ke waktu dan tergantung pada kondisi.
Gagasan ini dianut oleh kelompok Filsafat Ilmu Baru yaitu; M. Polanyi, T.S.
Kuhn, P.K. Feyerabend, S. Toulmin dan A. Kaplan.
10 : Keempat,
kelompok yang menghendaki penggabungan berbagai pendapat dari ilmuwan
sebelumnya dalam filsafat fenomenologis dan analitik menjadi sebuah ilmu
dari ilmu. Tokohnya adalah K.O. Apel dan G. Radzidky.
Limas
Ilmu-ilmu
12 : Ilmu bukan abstraksi lagi, tetapi kesatuan metode yang
melingkupi segala-galanya beserta tempatnya.
13 : dan
bercirikan pada metodenya
13-14: Gambaran tradisional tentang susunan ilmu
ialah berbentuk limas. Yaitu sesuai pengamatan dan bahasa sehari-hari. Dasar
limas lebar dan meliputi data nyata, berdasarkan pengamatan dan percobaan dan
puncaknya terdiri atas teori ilmiah. Sedangkan tingkatan teoritisasi yang makin
maju berada antara dasar dan puncak limas. Kebanyakan limas ilmu terpancung,
karena pucuk teoritis yang lengkap belum ada.
14 : Ciri
khas bahasa ilmu perlu dibandingkan dengan bahasa sehari-hari. Dalam berbagai
hal, bahasa ilmu lebih mampu dari pada bahasa harian. Setiap ilmu ada bahasa
sendiri. Berdasarkan rujukan-rujukan dalam limas ilmu, dapat dikatakan bahwa
ilmu mempunyai kemandirian sendiri akan tetapi bersifat relatif. Karena
heuristic dalam ilmu adalah cara kebenaran-kebenaran baru dapat ditemukan.
Meski demikian ilmu memiliki kemandirian relative dan tidak dapat berdiri
sendiri sebagai system terpencil.
[II. MEMBATASI ILMU]
16 : Konsep metode adalah penyelidikan
berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Suatu metode disusun menurut
bahasa, atau sistem lambang dengan mempergunakan istilah-istilah yang sudah
diketahui dan memperoleh arti khas.
16 : Sementara
metode ilmiah adalah proses menata data yang belum teratur. Pada sisi lain,
ilmu adalah penyepadanan prosedur yang dapat memimbing penelitian menurut arah
tertentu. Metode ilmu timbul degan membatasi secara tegas bahsa yang dipakai
oleh ilmu tertentu.
17-19: Bahasa sehari hari bersifat evaluative,
penilaian, penghargaan dan budaya erat kaitannya. Ada perbedaan mendasar anatar
bahasa sehari hari dan bahasa ilmiah; pertama; metode ilmiah membatasi bahasa.
Bahasa bebas nilai. Mempersempit makna pada rujukan tertentu. kedua, bahasa
sehari hari tidak merupakan bahasa tertutup. Dalam bahasa tata bahasa sehari
hari selalu ketinggalan dalam suatu perkembangan bahasa. Sementara bahasa ilmu
disusun setertutup mungkin, disusun secara logis dengan definisi tunggal antar
premis. Ketiga, bahasa sehari hari boleh menggunakan bahasa itu (penunjuk)
sementara bahasa ilmiah beraras pada menjernihkan bahasa. Menurut W.
Leinfellner ada makna epibahasa (lebih sempit) dan metabahasa (lebih luas dan
membutuhkan penjelas atau axioma).
20-21 : Perbedaan
utama pengamatan biasa dan orbservasi merupakan bagian yang menarik untuk
diuraikan. Pertama, Observasi berbeda dengan pengamatan. Dalam
observasi obyektivitas diri dikesampingkan. Sedangkan pengamatan bersifat
emosional yang dapat menyebabkan deformasi. Pada observasi diusahakan uraian
data nirpribadi (non personal ) atau sekurang-kurangnya intersubyektif. Yang
berarti langkah pertama menuju obyektivasi.
Kedua, Observasi
melupakan yang sudah diketahui, seakan-akan suatu gejala diamati dengan
mata/pandangan baru tanpa prasangka. Ketiga, Observasi terpaksa
membatasi dan memusatkan perhatian pada gejala, nuansa pribadi diperbolehkan
sejauh dapat dipertanggungjawabkan dan dituangkan dalam metode (hipotesis).
Sementara pengamatan bernuansa banyak dan sarat dengan ketidakpastian. Keempat,
Observasi bukan keadaan normal artinya observasi menuntut adanya latihan,
praktek dan pemahaman teori. Kelima, Observasi memperuncing perhatian
dan mengubah gejala tertentu yang relevan secara ilmiah. Bidang tertentu
berbeda jenis observasi yang dipakai. “No observation is purely empirical...,
notheory...is purely ideational”. (A.Kaplan). Keenam, Observasi berkaitan
dengan ‘fakta’ sebuah ilmu, dapat bermuara pada penemuan fakta. Setiap ilmu
menentukan fakta yang khas. Hasil pembatasan metodis dapat ditentukan sebagai
fakta ilmiah ”benar” atau ”tidak benar” secara pasti.
Pemerian dan
penggolongan (klasifikasi)
23 : Pertama, Observasi seperti pengamatan
menuju kepada pemerian dan didalamnya mengandung pengertian-pengertian
tertentu.
24-25 : Kedua,
Dalam usaha klasifikasi kecenderungan yang dilihat adalah dari intuitif menjadi
konseptual dari isi ke arah formal. Contoh utama adalah kambing binatang
menyusui tetapi tidak semua yang menyusui adalah anjing. Dalam klasifikasi
modern menggunakan teori himpunan seperti organ Indonesia, berbulu, homaprodit
dll.
Pergeseran
dari intuitif ke konseptual adalah misalnya klasifikasi intuitif lebih
berdasarkan sesuatu yang mencolok, misalnya warna, kiri atau kanan. Pada
klasifikasi konseptual lebih menggunakan pembagian yang kurang terperinci.
Misalnya ya atau tidak, dengan angka 0 sampai 10, berbulu dan tidak berbulu,
beraspirasi atau tidak beraspirasi dll.
25 : Ketiga, jika dilihat dari kuantifikasi
yang semakin meningkat misalnya hitungan 1 sampai 10, A dan B sebagai urutan
yang semakin meningkat.
Dari ketiga
uraian tersebut, yang terpEnting difahami adalah, klasifikasi dan observasi
adalah dua bagian yang tidak bisa di pisahkan satu dengan yang lainnya.
Berdasarakan pada data dan prosedur tertentu. keduanya menangani hal hal secara
lebih sadar dan lebih diragamkan.
[III. SUSUNAN ILMU]
Definisi – definisi
28 : Ilmu
bagaikan bangunan yang tersusun oleh batu bata. Unsur-unsur dasarnya tidak
dapat dipenuhi secara langsung dari alam sekitar tetapi melewati observasi,
penggolongan kelompok, baru dapat dipergunakan dilakukan dengan petunjuk dari
limas ilmu secara menyeluruh.
28 : Definisi
ilmu-ilmu formal berbeda dengan ilmu empiris. Definisi merupakan petunjuk
bagaimana ”pengertian dasar” ini dapat dipergunakan dan cocok sebagai bangunan
ilmu. Dalam perkembangan ilmu, definisi merupakan alat yang mutlak perlu.
Definisi nirsejati
30 : Definisi
nirsejati meliputi pertama, definisi ostensive (tunjuk), berperan pada
penalaran filsafat tentang definisi dan persuasif, untuk wawasan kegiatan ilmu
praktis. Arti istilah tidak diberikan oleh istilah lain melainkan lewat acuan
kepada hal itu sendiri. Kemungkian istilah lain adalah definisi ”kosong” dengan
merujuk pada obyek, lokasi dan waktu tertentu.
32 : Kedua, Definisi persuasif, biasanya bersifat
deskriptif meski kadang deskriptif semu. Misalnya demokrasi harus
dideskripsikan unsur-unsurnya, semu dan tidak nyata. Menurut Ch. Palerman
adalah “alat logis semu demi penalaran”.
Definisi dalam arti sesungguhnya
33 : definisi
ilmu menyajikan susunan (hirarki) definisi. Susunan ini menanjak dari definisi
yang sangat terikat dengan data pengalaman samapai definisi yang tertama
ditentukan oleh cara mengolah data. Lapisan dasar definisi ilmiah merupakan
definisi deskriptif.
34 : Definisi
deskriptif dalam arti sempit disebut definisi leksikal. Biasanya menyatakan apa
yang dimaksud dengan sebuah kata, besar kecilnya ditentukan oleh kamus.
Definisi deskriptif juga dapat disebut sebagai definisi nyata, jika menjelaskan
tentang hakekat dan kenyataan sebenarnya.
34 : Definisi
nominal, memberikan nama dan diterima secara umum maka memiliki makna baru
kemudian di pertanyakan secara leksikal.
35 : Definisi
stipulatif. Definisi ini sering dibandingkan dengan definisi nominal dan
definisi verbal. Berlaku benar atau tidak benar pada dirinya sendiri tanpa makna
lain. Definisi stipulatif mengandung pakatan yang diberikan kepada suatu
istilah.
35 : Definisi
operasional. Definisi ini biasanya mengenai istilah-istilah yang dekat pada
puncak suatu ilmu, pada teorinya dan bukan pada istilah istilah stipulatif. Definisi
operasional mensyaratkan kesesuaian susunan menyeluruh suatu ilmu. Definisi
operasional menguraikan arti sebuah istilah dengan menyebut kegiatan mengukur
yang dapat menghasilkan penentuan arti semacam itu.
36 : Definisi
Teoritis. Definisi teoritis membatasi isi pengertian atau arti, mencakup
istilah yang dihasilkan oleh definisi sebelumnya. Definisi dihasilkan lewat
bahasan dan lambang yang lazim dipakai dalam cabang ilmu yang bersangkutan.
Definisi teoritis di uraikan bagi ilmu forma dan ilmu empiris.
Pengertian-Pengertian dalam Ilmu
38-39 : Dalam
struktur struktur limas ilmu, ada lima asas yaitu observasi : merupakan yang
berhubungan dengan pengamatan langsung. Empiris : istilah yang menghimpun
sekelompok observasi. Istilah terbuat: menunjuk sesuatu yang tidak dapat
langsung diamati, namun tetap terjadi lantaran observasi. Istilah timbrung :
sedikit lebih jauh dari pengamatan, karena tidak berhubungan
langsung dengan pengubah-pengubah. Dan Istilah teoritis : tidak apat lagi didefinisikan
dengan istilah observasi, baik langsung maupun tidak langsung. Istilah
teoritis tidak boleh dikenakan hanya satu tafsiran mengenai istilah-istilah
observasi, tetapi justru memberi kelonggaran kepada banyak kemungkinan
penafsiran, baik yang sduah ada, atapun yang akan timbul.
[IV. TEORI ILMIAH]
Hukum dan Teori
43 : Ilmu
harus terbuka kearah dua jurusan yaitu kearah gejala empiris dan kearah
kemungkinan yang belum diketahui bagi penerapan suatu teori ilmiah kepada
gejala baru. Suatu teori memahkotai suatu sistem ilmiah dan terdiri atas
hukum-hukum mutlak. Di samping hukum teoritis, terdapat hukum observasi.
43-46 : Hukum
observasi mengungkapkan rampatan(generalisasi) berdasarkan observasi, sehingga
sifatnya empiris. Sedang hukum teoritis menyatakan hubungan mutlak antar
gejala. Sifat hukum teoritis mengakibatkan akan diusahakan perumusan yang lebih
umum lagi. Dalam susunan ilmu akan dimulai dari puncak kebawah. Hal ini untuk
menjabarkan bahwa umumnya observasi dari hukum teorits (deduksi). hukum
observasi harus dapat dijabarkan dari hukum teoritis. Menerangkan dan
meramalkan dianggap sebagi ciri utama sebuah teori ilmiah. Pertama, bahwa
penjabaran masing-masing pernyataan dari suatu teori/hukum umum yang memberikan
kesempatan untuk pelakuan pengujian. Kedua, untuk hukum dan teori dirancang
terlebih dahulu, disebut proto-teori. Dalam ilmu rancangan pengandaian yang
ternalar disebut hipotesis. Dari hipotesis dijabarkan ungkapan yang dapat diuji
satu demi satu. Hipotesis mutlak untuk membentuk teori, model ini disebut
hipotesis-deduktif.
Pertanyaan-pertanyaan Mengenai
Pengujian
46 : Kesahihan
suatu teori ilmiah mengalami perubahan dari induksi ke deduksi. Induksi adalah
penjabaran kaidah umum berdasarkan hal-hal yang khusus, deduksi adalah
penjabaran hal-hal khusus dari kaidah umum. Secara umum yang pertama menonjol
adalah induksi, terdapat sifat pertanggungjwaban dan pengujian.
47 : Ilmu
dimulai dengan pengamatan fakta dan observasi yang dirampatkan melalui
penelaahan statistik; pertama, induksi, sehingga hipotesis disusun menjadi
sumber penjabaran pernyataan baru. Kedua, deduksi, pernyataan ini diuji
lagi terhadap fakta.
47 : Dengan
dua hal tersebut verifikasi dan falsifikasi hiptesis yang telah disusun
dinilai, yang mungkin ternyata terkuatkan.Kemudian mungkin disusun pernyataan
baru berdasar teori itu yang mengakibatkan berlagsungnya penyelidikan baru.
Dengan demikian akan tertutup lingkaran dari observasi ke observasi. Secara
urutan kronologis, model ini tidak benar, telah dijelaskan bahwa observasi timbul
karena transformasi pengalaman biasa, sehinga tidak terlepas dari suatu teori
dan fakta utnuk sebagian bersifat konstruksi dalam rangka suatu tujuan
ilmiah.Observasi sudah dibina oleh suatu rancangan teoritis dan teori itu
secara terus menerus dikendalikan oleh observasi. Dipihak lain deduksi tidak
logis hanya berlangsung berdasarkan kesahihan formal.
48: Dalam filsafat ilmu dibedakan secara tegas
antara proses yang menghasilkan penyusunan suatu hipotesisi heuristik dan
proses yang harus mempertanggungjawabkan suatu hipotesis. Ini kemudian yang
diangap sebagai ilmu.
48: Kesukaran timbul pertama-tama dari
pengujian. Apabila sebuah ilmu yang sudah matang memiliki suatu struktur logis,
bagaimana mungkin diadakan kontak dengan kenyataan luar – logis? Struktur logis
suatu hukum teoritis justru membawa serta sifat umum. Dari induksi yang selalu
terbatas pada sejumlah hal yang berhingga, tidak mungkin dijabarkan pernyataan
umum. Sebaliknya pernyatan umum tidak dapat diverifikasikan oleh proses verifikasi
yang selalu berhingga.
49 : K.K.
Popper menolak induksi, mengganti dengan tuntutan falsifikasi. Tuntutan
faslifikasi disatukan dengan filsafatnya tentang rasionalisme kritis, antara
lain berakibat bahwa setiap pernyataan teoretis harus disusun sedemikian rupa
sehingga sebanyak mungkin terbuka untuk perbaikan-perbaikan. Perbaikan itu
memperlihatkan bahwa kombinasi empirisme dengan teori yang disusun secara logis
terlau simplistic.
49-50 : Pertama,
Pengujian, baik verifikasi atau falsifikasi mengandung masalah yang tidak hanya
bersifat empiris. Penerapan verifikasi dan falsifikasi dalam bentuk mutlak
jarang timbul, biasanya adalah kemungkinan/bisa jadi. Kedua pada kegiatan
ilmiah kerap terjadi bahwa suatu teori dipertahankan. Ketiga, suatu teori mengatur
seuruh system ilmu. Kesimpulan yang dapat ditulis adalah: berdiri atau jatuhnya
ilmu bergantug pada kesahihan.
Menerangkan dan Meramalkan
51 : Menerangkan
dan meramalkan adalah kegiatan pokok dari sebuah ilmu. Suatu teori bersifat
logis, merupakan model hipostesis-deduktif. Atau model Deduktif-nmolgis (DN).
Penjabaran suatu hukum akan jelas jika ditinjau dari struktur keterangan
ilmiah.
51 : Gejala
yang akan diterangkan ( ekspanandum) dan keterangan(eksplanan) Bagian terkhir
yang terletak paling depan dan terdiri atas dua bagian. Pertama antecendens
yang menyatakan keadaan paling khas yang meliputi suatu gejala, Kedua, hukum,
satu atau lebih berupa pernyataan umum atau law like statement. Berdasarkan
gejala yang ada diterangkan sebagai berikut:
Skema
A1.........................................An
W1 .......................................Wn
Eksplanan
E Eksplanandum.
53 : Perjalinan
antara yang teoritis dan yang empiris muncul dalam berbagai penjelasan yang
harus dibedakan seketika dikemukakan apa yang sebetulnya mau diterangkan dengan
hasil :
(1).
Keterangan logis (2). Keterangan sebab akibat ( kausal). (3). Keterangan final
(5). Keterangan fungsional (6). Keterangan historis (7). Keterangan
analog
Menerangkan dan Memahami
54 : Sejumlah
ahli filsafat beranggapan ilmu tidak hanya menerangkan tetapi juga berusaha
memahami(verstehen). Lawan dari menerangkan(erklaeren) yang dimaksud memberikan
bahasa kausal dan verstehen yang bermaksud mengartikan data.
55 : Verstehen
memiliki dua arti yaitu untuk memahami perasaan dan keadan batin sesama manusia
dan untuk menangkap arti suatu teks. Memahami sekaligus menafsirkan disebut
hermeneutik.
56 : Pengarang
modern menilai verstehen sebagai bagian metode ilmiah sejati. Memahami alam
dengan memahami masyarakat adalah berbeda. Alam dapat disusun hukum-hukum
sementara memahami masyarakat akan terdapat penyimpangan yang dapat diolah
secara teoritis. Penyimpangan merupakan pelanggaran terhadap suatu kaidah,
sehingga pada keadaan tertentu perlu memasukan istilah “mentaati kaidah”.
56-57 : Winch
menggunakan metode yang lebih analitis, A.Schutz memakai metode fenomenologis.
Schultz membandingkan bentuk memahami dengan pengalaman akal sehat (common
sense) terhadap dunia biasa. Kedua pemikir itu memperlihatkan bagaimana
memahami, asal tidak terlalu irrasional dan subyektif, merupakan kelanjutan
dari menerangkan. Batas antara memahami dan menerangkan tidak jelas.
[V. ILMU DALAM KONTEKS]
Ilmu Sebagai Sistem Tertutup
63 : Ilmu
memiliki ciri khas sebagai sistem terbuka, ilmu tidak dipandang secara
terpencil melainkan ilmu dalam konteks. Pertama, bagi yang meyakini ilmu
memiliki sistem tertutup, melihat hubungan dengan konteks sebagai hubungan yang
menjauhi dan membatasi. Ilmu memperlihatkan bentuk limas dan dicirikan oleh
kecondongan membentuk sistem tertutup. Ilmu berfungsi dalam suatu konteks, ada
pengaruh dari masukan dan keluaran. A.Comte menulis ” setiap ilmu terdiri atas
koordinasi fakta” , terdapat juga fakta umum / fakta sosial. Makin maju
ilmu-ilmu, fakta makin bergayut pada metode.
63 : Kedua,
beberapa orang meyakini tidak ada batas antara ilmu dan konteks.
64 : Ketiga,
ilmu adalah sistem terbuka. Artinya ilmu memiliki struktur dan kedudukan
sendiri, dipihak lain tidak lepas dari tautan-tautan yang lebih luas, ruang
lingkup ilmu terwujud. Budi manusia memiliki pengertian bawaan tertentu
(innate) salah satunya kausalitas
64-65: Menurut W.Hamilton mengembalikan masalah
kasualitas seluruhnya pada logika penalaran. Didasarkan pada identitas logis.
Pendapat modern, kasualitas sebagai sesuatu tidak yang pertama-tama termasuk
kenyataan diluar ilmu. Kasualitas diganti dengan model deduktif nomologis (DN)
dan digenapi dengan model induktif-statistik. Ilmu mencari pembulatan, tetapi
tidak ada sistem ilmu yang otonom. Ilmu tebuka lebar, karena dihasilkan oleh
konteks, faktor psikis, sosial atau ideologis.
Psikologisme
65 : J.stuart
Mill mencirikan hukum logis sebagai “generralization for a mental act” bahwa
hukum logis sebenarnya merupakan hukum penalaran yang ditentukan secara psikis.
Pendapat Mill dianut sebagai ”psikologisme”.
65-67 : Psikologisme
mendasarkan kepastian logis pada kontingensi berfungsinya psikis budi manusia.
Psikologisme meluas pada bidang lain. Pada analisis sitem ilmiah diusahakan
juga mempergunakan fakta pribadi dan biografis sebagai keterangan terjadinya
sebuah teori. Tautan penemuan tidak mampu menyampaikan analisis apapun demi berlakunya
kesahihan teori ilmiah. Seandainya berpretensi demikian, maka teori yang
berasangkutan berdasarkan reaksi psikologis orang-orang tertentu, diterangkan
secara psikologis dan dengan demikian tidak memiliki kesahiohan umum apapun.
Sosiologisme
67 : Ilmu
merupakan gejala sosial, maka dapat dianalisis sebagai gejala sosial. Disebut
sebagai sosiologi ilmu. Kesahihan teori didasarkan fakta sosial (sosiologisme).
Artinya ilmu dipersempit menjadi fakta sosial. Para pemikir al : Karl Mark,
E.Durkhein, K.Mannhein melihat adanya hubungan erat antara ilmu dan masyarakat.
Dihasilkan pengertian akan hubungan penalaran ilmiah dengan suatu kebudayaan
atau bangunan sosial tertentu. M. H Herskovits menyodorkan relativisme nilai
yang berlaku juga untuk struktur penalaran ilmiah : kategori-kategori ”ruang”,
”waktu”, dan ”kausalitas” adalah ”mediated by the convenmtions of any given
group”.
68 : Pendapat
ini mengandung bahaya, bahwa kesahihan suatu ilmu didasarkan begitu saja pada
masyarakat tempat ilmu berfungsi. Ilmu bukan lagi otonom. Ilmu tidak hanya
diperikan dengan bertolak dari kekuatan sosial, melainkan juga dikaitkan dengan
penilaian sosial politik. Maka terjadi pendapat ideologis. Keberatan terhadap
sosiologisme tidak perlu mengarah ke pendapat mengenai ilmu tertutup. Keluaran
jelas kelihatan, yaitu pengaruh ilmu pada masyarakat. Rumusan Comte
sungguh-sungguh ada ilmu demi ilmu.
Ilmu Terapan
69 : Ilmu
terapan berperan penting melebihi ekpektasi. Buku-buku baku berhaluan
logis-positivistis, hampir tidak mengindahkan ilmu terapan yang sebenarnya
merupakan bagian terbesar ilmu-ilmu. Ilmu terapan berarti lebih luas dari hanya
penerapan ilmu pada bidang teknik. Ilmu teknik telah menjadikan penerapan ilmu
obyek penelitian teoritis. Sehingga terdapat berbagai disiplin ilmu : ilmu
kedokteran, ilmu hukum dll. Ciri khas ilmu terapan adalah faktor kebetulan yang
disingkirkan oleh ilmu murni atau faktor pengganggu justru menjadi obyek
penelitian ilmu terapan, yang disebut ilmu praktis.
69-70 : Ilmu
terapan memasuki masyarakat lebih mendalam. Kemudian ilmu berusaha juga
menangkap banyak unsur kebetulan dari konteks masuk ke ranah ilmiah. S. Toulmin
membandingkan ilmu murni dan ilmu terapan dengan peta dan jalan yang ditempuh.
Bagaimanapun
ilmu tak mungkin melepaskan kedudukan sendiri maupun penyepadanan sistematis,
lalu tenggelam ke dalam pandangan relativitas, psikologistis dll. Adanya sifat
tenggang yang terdapat dalam setiap teori, baik murni maupun praktis, ilmu-ilmu
dapat berfungsi sebagai radar, juga demi masyrakat.
Ilmu dan
Ideologi
70 : Yaitu
mengabdikan ilmu kepada pilihan yang ditentukan oleh padangan dunia (wawasan)
dan atau sosial politik. Di maksud ideologi dalam arti luas adalah setiap
perangkat ide yang bersifat mengarahkan. Istilah ideologi tidak harus berarti
negative. Beberapa ideologi atau ide yang menonjol agamawi, metafisis, susila,
sosial, politis.
71: Ketegangan ideology dan ilmu pertama terjadi
antara agama dan ilmu. Pertama, Konflik dapat timbul bila terjadi
penisbian/relativasi segi teoretis dalam pandangan hidup religius karena
tekanan dari pihak ilmu modern. Sifat kebenaran religius tidak hanya kognitif
tetapi juga kontekstual. Kadang terjadi bahwa dengan berawal pada agama disusun
sebuah asas dan dasar teoretis sebagai titik tolak suatu sistem filsafat.
Tuntutan seperti itu oleh kaum religius sering disebut ” fundamelisme”. Menawan
ilmu secara ideologis terjadi juga oleh marxisme ortodoks. Pendirian ideologis
ini mengakibatkan banyak konflik dengan ilmu. Neo-marxis mendukung pengaruh
ideologis pada ilmu.
72-74 : Kedua
penilaian yang dalam susunan masyarakat amat berperan harus juga
berpengaruh pada ilmu. Sains digiring oleh kepentingan teknologi, ilmu sejarah
oleh kepentingan praktis dan sosial oleh kepentingan emansipatoris.Memang ilmu
merupakan sistem dalam suatu konteks tetapi tidak betul bahwa ilmu dilarutkan
dalam konteks itu. Memang betul fungsi ilmu berubah sesuai lingkungan budaya
dan konstalasi social tetapi ilmu merupakan imbangan yang berharga menghadapi
ideologi. Kecondongan yang ingin menerangkan dan menguasai segala-galanya
berdasar ilmu disebut ”saintisme”. Kecondongan ini sama dogmatisnya seperti
suatu ideologi yang ingin menguasai ilmu.
Ilmu sebagai Sistem Terbuka
74-75 : Istilah
sistem terbuka dipakai oleh oleh L.von Bertalanfly dan K.Boulding untuk gejala
tertentu dari organism hidup, kemudian di aplikasikan pada seluruh bangunan
ilmu. Ilmu merupakan bagian kebudayaan manusiawi bahkan bagian kebijakan
manusiawi seluruhnya. Ilmu tetap memiliki kemadirian (otonomi), tetapi luwes,
penyesuaian terus-menerus dari konteks lewat pembaharuan yang kreatif. Ilmu
sebagai suatu sistem hanya mungkin karena pembatasan-pembatasan berkat suatu
metode.
76-77: Kekuatan ilmu terletak pada pembatasan diri.
Teori merupakan keseimbangan antara”konsepsi” dan ”empiris”.
E.
Kant menganggap pengetahuan ilmiah bagaikan sebuah sistem yang tunduk pada
struktur (kategori) ilmiah yang ketat. Sistem ini merupakan suatu ”kesatuan
arsitektonis” Kesatuan sebuah sistem berdasarkan praanggapan suatu ”ide” yang
membentuk kesatuan tersebut. Ide ini disebut dengan ide regulatif yang sifatnya
diatas empiris, metafisis dan yang memungkinkan hubungan antara pengetahuan
teoritis dan perilaku susila.
[VI. FILSAFAT ILMU]
79 : Filsafat
ilmu ialah suatu perpanjanga ilmu tentang pengetahuan. Penerapan teori
pengetahuan pada pengetahuan ilmiah. Teori pengetahuan menelaah struktur dan
kesahihan pengetahuan insani. Pengetahuan ini mencakup antara lain : mengamati,
mengingat, menyangka dan bernalar. Penerapan pendapat baik klasik atau modern
sudah termasuk dalam filsafat ilmu.
Rasionalisme
79 : Dalam
arti sempit berarti anggapan mengenai teori pengetahuan yang menekankan akal
dan/atau ratio, untuk membentuk pengetahuan. Ilmu mustahil hanya berdasarkan
fakta, data empiris atau pengamatan. Ilmu harus menyusun suatu sistem. Untuk
itu diperlukan pilihan/seleksi.
80 : Strukturalisme
menghadapkan kepada pendekatan ”diakronis” suatu pendekatan”sinkronis”. Yaitu
meneliti keseimbangan dalam sistem bahasa atau keseimbangan pasar yang
menerangkan proses memahirkan suatu bahasa dengan bertolak pada rangsangan (B.
F. Skinner).
Empirisme dan Positivisme
81 : Empirisme
filsafat ilmu mengindahkan keharusan selalu mengubah dan mencocokkan sistem
ilmu. Locke mengatakan pengetahuan terdiri atas gambaran mengenai data empiris.
Sedangkan Mill berpendapat bahwa induksi sangat penting. Sementara Comte dan E.
Mach bertitik tolak pada ”unsur” atau ”fakta” murni. Kesulitan empirisme pada
kaidah-kaidah logika dan matematika yang berlaku umum.
82 : Positivisme
logis memecahkan masalah ini dengan menganggap ilmu formal bukan sebagai
pengetahuan yang berhubungan dengan sesuatu diluar bahasa (kenyataan).
Positivisme logis sifatnya tetap empristis. Sehingga timbul sistem totologis.
Empirisme dan Positivisme memberikan kelonggaran lebih besar kepada masukan
dari empiris.
83 : Kesukaran
utama adalah hukum dan teori ilmiah tidak pernah dapat dikembalikan seluruhnya
kepada data pengalaman. Maka untuk filsafat ilmu disajikan sejumlah
penyelesaian perantara namun tetap diatur oleh asas-asa yang bersifat
kesepakatan.
Rasionalisme Kritis
84 : Rasionalisme
kritis menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Sutau
ilmu merupakan suatu keseluruhan, suatu sistem, tidak sebagai ramuan suku-suku,
melainkan berdasarkan struktur yang teratur. Pertama, jangan mengadakan
penelitian historis-faktual (psikologis) untuk mencari kesahihan penghetahuan,
melainkan adakan analisis logis struktural. Kedua, kemukakan tuntutan akan
kesahihan pengetahuan ilmiah, karena hubungan yang tak terelakkan dengan
pengalaman indrawi, batas-batas pengetahuan itu harus sekaligus ditampilkan. Ini
oleh Kant disebut ”filsafat kritis”.
85 : Popper
menggunakan istilah ”rasionaliosme kritis” menyambung Knat. Sifat kritis
berarti bahwa kita terbuka pada pengalaman. Sifat rasional dibentuk lewat sikap
yang selalu terbuka bagi kritik. Oleh karena itu setiap perumusan menegenai
suatu hipotesis ilmiah harus sedemikian rupa sehingga jelas bahwa terdapat
kemungkinan penangkalan atau falsifikasi.
Konstruktivisme
87: Kelompok
ahli filsafat yang menekankan sifat kontekstual sepaham hal yang dipentingkan adalah
pembaruan dan perubahan sistem terus menerus. Ilmu merupakan sistem yang
dinamis dan luwes. Selain pengaruh konteks sendiri, digaris bawahi pengaruh
ilmu pada konteks. Ilmu membentuk rengrengan dan memaksakanya pada kenyataan,
lewat interaksi yang erat dengan konteks. Disimpulkan oleh banyak pemikir ilmu
harus dilihat menurut arti lebih luas, karena perkembangan ilmu sendiri turut
membangunnya. Maka heuristik memilki arti metodologis.
87: Konstruktivisme
dapat dibedakan dalam beberapa kelompok pertama dekat dengan positivisme logis,
karena mementingkan aparat logis ilmu. Kedua diberi nama ”filsafat ilmu baru”
Sistem ilmu dan kenyataan empiris saling resap-meresapi (Gestalt)
90-91 : Ketiga
yang menganut konstruktivis diberi nama aliran “genesis” mereka berpendapat
bahwa terjadinya system, genesis system, merupakan bagian dari sifat khas
sistem semacam itu. Proses terjadinya(genesis) dan hasil tidak dapat
dipisahkan. Aliran ini dipengaruhi oleh pragmatisme dan instrumentalisme dari
C. S Peirce dan J. Dewey. Yaitu ajaran tentang abduksi sebagai yang mendahului
semua prosedur pertanggungjawaban menyusun hipotesis, serta deduksi dan
induksi. Abduksi ialah menerapkan pada gejala sebuah rengrengan yang secara
logis belum tertutp, lewat deduksi dan induksi diusahakan agar bentuk itu
secara logis lalu menjadi tertutup.
91 : Segi
kedua Pierce merupakan antisipasi pada etika. Dewey memunculkan
“instrumentalisme”. Ilmu bersatu dengan jalan yang ditempuh agar dapat
terwujud, ialah penelitian (inquiriy). E. Hurssel membuicarakan tentang
dipentingkannya dalam ilmu ialah melihat kedepan secara manusiawi, menyongsong
keadaan baru. J Piaget menekankan adanya abstraksi fisis pada anak-anak. Lewat
adaptasi dan asimilasi, ilmu dapat maju sebagai lanjutan seluruh kegiatan. Ilmu
formal sebagai jaringan abstrak merupakan endapan dari kemungkinan pengandaran
manusia.
[VII. STRATEGI ILMU]
Heuristik dan Etika
Heuristik dan Etika
96 : Terjadi
pergesaran minat pada metodologi ilmu, pertama pada masalah sekitar kreativitas
dalam ilmu. Dikarenaka pada saat ini demikia banyak ilmuwan, cara dan alat
penelitian yang lebih baik, secara relatif tidak banyak hasil penelitian
dibanding tahun tahun terdahulu. Maka dalam dunia pengajaran dilontarkan
pertanyaan mengenai inventitas. Dapatkah inventitas dan kreativitas diperoleh
lewat belajar? Dapatkah heurisitik baru menjadi penyelamat bagi kita?
96 : Kedua,
ilmu terapan, teknik, makin berperan dalam mewujudkan masyarakat dan
kebudayaan. Ilmu dan teknik sangat dipengaruhi oleh masyarakat dan budaya.
Apakah ilmu yang otonom dan universal sebenarnya tidak dipengaruhi oleh konsepsi-konsepsi,
pola kebudayaan dan pra anggapan metafisis yang berada diluar pengalaman
langsung.
97 : Heuristik
adalah teori menemukan jalan untuk menangani suatu masalah secara ilmiah.
Heuristik mendahului ilmu, biasanya diangap sebagai sebidang medan yang tidak
dapat disempadani secara tajam. Medan ini meliputi sejumlah faktor nirilmiah,
yang dapat menjadi penting demi munculnya ilmu. Terdapat anggapan metafisis
mengenai hakekat “materi”, kadang pandangan itu merangsang, kadang menghambat
terjadinya sains. Atau filsafat metafisis tertentu mengenai “waktu”.
97-98 : Dalam
semua hal heuristik mendahului ilmu dan sempat menyediakan iktisar alasan yang
ikut bertanggungjawab atas terjadinya ilmu. Diluar ilmu, pada medan heuristik
terdapat sifat rasionalitas yang masih terletak pada skill. Dalam tahap
lanjutnya akan menjadi semacam superilmu. I Kant menyebut sebagai hiperfisis.
98 : Rasionalitas
pengetahuan menemukan penyelesaian praktis, orang menyesuaikan diri dengan
aturan dunia dan berusaha mengalihragamkan. Dengan demikian menjadi alasan bagi
timbulnya putusan etis.
Heuristik Ilmu Etika
98-99 : Diluar
ilmu terdapat pertimbangan dan perilaku rasional. Membedakan, menghubungkan,
dan merumuskan patokan merupakan kegiatan sehari-hari. Dalam dunia itu biasanya
etika terdiri atas susunan kaidah-kaidah dan banyak putusan evaluatif dalam
kawasan dunia teratur tertampung dalam kaidah etis itu. Latar belakang masalah
rasionalitas, mengarahkan, kesahihan harus dilihat tewujudnya obyektivitas
ilmiah.
99 : Sistem
suatu ilmu tetap melanjutkan susunan dan anggapan pengalaman prailmiah. Baik
secara historis, kesahihahn faktual dan juga logis. Ilmu merupakanlanjutan khas
dari bakat manusia untuk mencari kiblat, dan bakat yang telah tersedia
sebelumnya. Timbulnya sistem rasional daqri bakat-bakat tersebut, genesis,
termasuk kesahihan , wewenang ilmu
Strategi
100: Strategi ini adalah keseluruhan kaidah untuk
mencapai suatu tujuan. Strategis suatu sistem ilmiah telah diketahui, suatu
ilmu tidak pernah selesai dan tidak pernah tertutup. Strategi lmu adalah bagian
strategi lebih luas dalam seluruh kebudayan manusia.
100-101: Menjelaskan kenyataan
secara ilmiah berlangsung dalam ruang lingkup yang lebih luas daripada strategi
sebuah ilmu, ilmu seakan-akan menjajagi dunia seputrnya dengan tidak kaku,
struktur akan dapat berubah, maka mulailah menyempit hubungan antara rengrengan
pembenaran dalam arti sejati dengan heuristik. Seluruh strategi ilmu merupakan
kerangka acuan, ruang rengrengan pembenaran atau keterangan baru berlaku.
101-103:Pertama,
suatu ilmu selalu mengandung suatu pilihan dan pembatasan tertentu, juga
terhadap patokan kesahihan. Kedua, sistem semacam itu mengingat zaman
dan kebudayaan, dapat memperoleh wujud lain. Ketiga, dengan demikian
bentuk yang satu tidak terasingkan dari bentuk lain. Suatu sistem ilmiah
tertentu, menurut bangunanya yang metodologis merupakan endapan strategi ilmu.
Endapan diperlukan dalam sistem demi kesahihan antarsubyektif.sistem ilmu
mutlak perlu demi pemberitahuan, namun dapat diwujudkan dengan bentuk
berbeda-beda untuk mencapai tujuan yang sama.
Sifat khas
ilmu menuntut sebanyak mungkin ketrbuktian umum lewat metode menyatakan dan
metode menjabarkan. Banyak fisafat ilmu justru ingin menjabarkan berlakunya
teori secara sosiologistis dan konvesinalistis dengan bertitik tolak pada
universe of discource.
Untuk
mengenal strategi ilmu, kaidah yang mendalangi tiap-tiaplangkah, perlu mengerti
bagaiman strategi itu terjadi, jadi mengerti heuristik. Heuristik ialah
pengertian akan wilayah lebih luas daripada hanya sistem metodis ketat,
pengertian akan jalan yang menuju kesahihan sistem. Heuristik hanya sarat arti
dalam arti luas perilaku rasional yang megandung dorongan ke sifat umum
(universal). Apabila heuristik dengan relevansi metodologisnya tidak diakui
maka tidak ada kemungkinan untuk mengerti strategi luwes suatu ilmu.
Relevansi Metodologis
103: Pembaharuan metodologi dan logika suatu ilmu
justru merupakan akibat pengaruh kreatif dari heuristik. Heuristik relevan
secara metodologis, karena dapat ikut mengatur terjadinya suatu ilmu maupun
pembaharuanya secara kreatif. Ikut mengatur artinya bahwa heuristik mencakup
petunjuk dan kaidah.
103-104:Kaidah
pertama, setiap strategi ilmu yang masih giat pada pratahap heuristis, meraba
kemungkinan untuk memperbaikai strategi yang sedang timbul, menyusun dengan aik
sistem pembenaran yang rapat bagi suatu ilmu. Dengan mengikuti garis pemikiran
A. Kaplan, lebih lanjut, heuristik dapat dirumuskan sbagai context of discovery
yang berusaha menyusun context of justification sebagai koreksi diri. Seluruh
sistem pembenaran didalam jalinan penemuan sebagai mekanisme umpan balik.
Heuristik Ilmu Etika
104-105:Kaidah
kedua, menggapai kembali dari sistem ilmiah kepada pra-anggapan-pra-anggapan.
Yaitu pra-anggapan yang bersatu dengan system. Kadang-kadang seluruh kerangka
berfikir terlalu historis atau budaya, sehingga pra-anggapan tidak dilihat.
105-106:Kaidah
ketiga, Heuristik dapat, karena bentuk yang logis kurang tertutup dengan pasti,
menemukan alternatif-alternatif.
106:Kaidah
keempat bahwa proses terjadinya dan pembaharuan suatu ilmu dimajukan oleh
pengertian akan masalah etis. Ini dapat mendorong kreativitas degan menentang
ketidakseimbangan dalam ilmu. Kaidah heuristis untuk memajukan keseimbangan
sistem ilmiah terdiri ats pembalikan metodologis yang biasa dipergunakan.
Kepekaan
terhadap Masalah
108:Kaidah kelima perlu dibicarakan secara khusus karena merupakan titik
temu keempat kaidah yang lain. Ungkapan terkenanuntuk merumuskan kaidah ini :
kepekaan terhadap masalah-masalah ( sensitivity of problems). Ungkapan ini
sering digunakan untuk memperlihatkan bagaimana manusia mampu memandang keadaan-keadaan
secara baru pada waktu dipermasalahkan.
Heuristic Ilmu Etika
109: Heuristik tidak menjanjikan suatu metodologi
untuk menyelesaikan masalah relevan demi kepekan akan masalah yang perlu
dimiliki uleh oleh suatu ilmu, yang berakar pada persoalan yang lebih mendalam
di dunia luar-ilmiah. Ini berarti bahwa etika harus mempengaruhi seluruh proses
heuristis, belum sebagai sistem etis, melainkan lebih sebagai keinsafan etis.
110: Etika mempengaruhi pembangunan ilmu lewat
kaidah heuristis berperan dalam strategi ilmu. Hal ini berarti bahwa dalam ilmu
timbul metode(kaidah) dan fakta(kebenaran) baru (inventititas).
111: Heuristik tugasnya semacam fungsi jembatan.
Karena menunjukkan hubungan mutlak antara ilmu denga pengertian dan sikap
luar-ilmu. Heuristik menunjukkan jalan menuju terjadinya, genesis, sistem
ilmiah yang metodis dibatasi.
111-112:Heuristik
menimbulkankepekaan akan konteks tetapi tidak menyediakan suatu metodologi.
Heuristik sendiri dirangkul oleh etika sebagai keinsafan akan ketersusunan yang
jangkaunya lebih besar, dan yang normatif (evaluatif).
PENUTUP
Memahami Buku Susunan Ilmu Pengetahuan -Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu- karya C.A. van Peursen membutuhkan proses pembelajaran penyerapan pemahaman yang intens- internalisasi makna secara mendalam. Meski demikian, dasar dasar filsafat dan ilmu inilah yang mendorong bagi perubahan paradigma dan persepsi kita tentang hidup. Sesuai prinsip bahwa filsafat dan ilmu adalah memudahkan kita melihat dunia. Menjadi alat pembebasan manusia dalam menjalani hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar