The Most Popular Traffic Exchange

Selasa, 10 Desember 2013

Ketika Kompor Terus Menyala



Hari ini adalah hari yang bahagia buat Aji. Setelah berjuang selama 3 tahun terbayar lunas sudah. Yah, hari ini adalah hari wisuda. Aji sudah lulus dari Jurusan Teknik Mesin, Program Studi Teknik Konversi Energi dari salah satu Politeknik Negeri di Jawa Tengah. Terpampang spanduk yang bertuliskan “Selamat datang dan sukses bagi para wisuda” menyapa di luar auditorium. Semoga  harapan dalam spanduk itu tidak berubah dengan kata “ Selamat datang Para Pengangguran baru”. Sekarang saatnya untuk menghadapi dunia yang sebenarnya. Bukan sekedar teori, tetapi sudah kenyataan yaitu dunia kerja yang penuh persaingan, penuh perjuangan, penuh taktik dan intrik.
            Tentu ini bukan akhir dari perjuangan akan tetapi merupakan awal dari perjuangan Aji untuk meraih cita-cita. Kedua orang tua Aji juga bangga, anaknya sudah diwisuda. Tidak sia-sia selama ini mereka membiayai kuliah Aji. Tidak ada yang menyangka kalau seorang anak dari desa bisa melanjutkan pendidikan di jenjang perguruan tinggi. Aji dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Kedua orang tuanya adalah petani. Selain bertani mereka juga bertenak sapi. Orang tua Aji mempunyai 6 ekor sapi. Sejak masih duduk di sekolah dasar, Aji sering membantu mencarikan rumput untuk makanan sapi-sapi milik orang tuanya. Aji tergolong anak rajin dan nrimo. Dia dengan senang hati selalu membantu orang tuanya tanpa mengeluh. Hal ini tentu saja membuat kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
“ Wah selamat Ji, kamu sudah lulus”. Ucap kakeknya.
 “ Terima kasih mbah.” Jawab Aji.
“Rencana kamu mau apa?” tanya Kakek.
 “Tentu saja cari kerja mbah .”jawab Aji.
“ Kerja di mana Ji?” tanya Bu Lik Sinta yang menemani kakek Aji.
 “ Lha itu masalahnya Bu Lik, aku belum tahu. “ Sahut Aji.
 Kakek pun berkata “ Kerja kok  dicari to Ji, Kalau kerjaan sih banyak...cabutin rumput di lapangan juga kerjaan., tapi siapa yang mau bayar? Intinya kamu itu kan cari yang bayar bukan cari kerjaan.”
 Jawab Aji:”Ya memang sih mbah, tapi kata orang bijak uang bukan segala-galanya”.
 “ Tapi segala-galanya pakai uang kan Ji” Sahut Kakek.
“Benar juga apa yang dikatakan Mbah”gumam Aji dalam hati. Coba seandainya aku jadi orang kaya, mempunyai harta yang berlimpah. Tak akan kekurangan secara materi, rumah, kendaraan, uang pasti tersedia.” Ah, kenapa aku menghayal? Tapi apa salahnya menghayal? Menghayal kan gratis” pikir Aji.
              Sepulang dari wisuda, Ajipun temenung di dalam kamar. Dilihatnya samir dan toga yang masih tergantung di kastok. Kedua benda itu bukanlah sekedar hiasan dan tanda kelulusan, tetapi adalah tanda kalau perjuangan dimulai. Dia teringat temannya yang kemarin ikut Job Fair. Mereka mencoba melamar ke perusahaan-perusahaan yang besar. Tentu saja dengan  harapan mereka mendapatkan penghasilan yang besar. Timbulah kegalauan hatinya. Kalau dia ikut melamar bekerja di perusahaan besar tentu saja dia harus pergi kekota besar. Dan meninggalkan segala aktivitasnya di desa. Tidak lagi membantu bapak mencarikan rumput. Padahal sekarang bapak sudah semakin tua. Tenaganya pasti akan terkuras apabila harus mencarikan makanan untuk keenam sapinya.
              Ketika Aji masih merenungkan apakah dia mau melamar pekerjaan ke kota besar, tiba-tiba pintu kamarnya di buka oleh ibu.
“Ji, ada tamu. Katanya temanmu dari Semarang.”
“Iya bu, sebentar lagi Aji keluar.”
Ajipun keluar dari kamarnya.
“Eh kamu Ris, tumben kamu datang ke rumahku. Gimana kabar kamu?”Tanya Aji.
“Baik-baik aja Ji, iya hitung-hitung reunian”.
“Ah kamu itu ada-ada saja, reunian itu kalau sudah lama tidak ketemu. Lho kamu sama siapa kesini?”
“Haha.haha... iya yah... aku sendirian. Begini Ji maksud kedatanganku ke sini, aku mau mengajak kamu melamar kerja di Jakarta. Kamu mau?”Tanya Aris.
“Ya itulah yang selama ini aku renungkan. Aku masih bimbang apakah aku harus mencari kerja ke kota.”
“Sebaiknya kita kerja di kota Ji, kita dapat berkarir di sana dan dapat mempunyai penghasilan yang besar. Lihat Amir Kakak kelas kita, dia sekarang sudah sukses kerja di sana.”
“Lalu siapa yang mengurusi sapi-sapi orang tuaku?”
“Hahahha..Ji kalau masalah Sapi kamu tidak usah kuatir. Bapakmu pasti bisa mengatasinya. Gimana Ji? Mau kan kamu melamar pekerjaan bersamaku?”
“Ya baiklah, aku mau. Lalu rencananya kapan kita berangkat ke Jakarta?”
“Senin depan saja, nanti kamu aku jemput, soal tempat tinggal di Jakarta gampang karena aku punya paman yang tinggal di sana.”
“Baiklah aku tunggu ya Ris.”
“Sampai jumpa hari senin, aku pulang dulu ya Ji.” Pamit Aris seraya menjabat tangan Aji.
“Hati-hati di jalan ya Ris.”Pesan Aji seraya melambaikan tangan.
              Setelah mendapat masukan dari Aris, akhirnya Ajipun membulatkan tekad untuk mencari pekerjaan di Jakarta.
 “Aku harus segera mencari kerja!”pikir Aji.
Lalu  Aji mengambil ijazahnya di lemari. Dipandanginya ijazah itu. Tertera namanya lengkap dengan sebutan Ahli Madya. Nampak juga foto Aji menggunakan dasi.
 “Wah sebenarnya kalau berpakaian rapi begini aku ganteng juga ya, beda ketika aku sedang mencari rumput untuk makanan sapi-sapi bapak.”gumam Aji sambil tersenyum.
Lalu Aji mengambil  transkrip nilainya. Dilihatnya transkrip nilai itu dengan seksama. Terlihat deretan nilai yang bervariasi dari A sampai D pada setiap mata kuliah. Aji memang tidak terlalu menonjol untuk prestasi nilai kuliahnya. Dia tergolong anak yang biasa-biasa saja. Walaupun begitu dia bersyukur masih dapat lulus dengan predikat yang memuaskan.
              Keesokan harinya Aji akan segera menfotokopi dokumen-dokumennya. Ijazah, KTP Akta kelahiran dan yang lain-lainnya sudah ia persiapkan. Rencananya hari Senin depan, dia dan Aris akan mencari kerja ke Jakarta. Ketika masuk ke ruang makan, dilihatnya meja masih kosong, tak ada nasi atau lauk pauk. Aji lalu bertanya kepada ibunya, “ Ibu , apakah tidak masak pagi ini?”.”Bukannya tidak memasak nak, tapi memang gasnya habis. Sekarang ini di desa kita gas langka,”jawab ibu. Walaupun di desa, tapi sebagian besar dari penduduk sudah memasak menggunakan gas. Ini karena mereka sudah jarang menebang pohon sembarangan untuk dijadikan kayu bakar. Kalaupun masih menggunakan kayu bakar, kebanyakan mereka mencari ranting yang kering. Orang di desa Aji sudah perduli dengan lingkungan. “Sebentar lagi sudah matang masakan ibu Ji, maaf agak lama karena kayunya agak basah”Kata ibu pecahkan lamunan Aji. “Tidak apa-apa bu, aku sabar kok menunggu”jawab Aji. Aji juga maklum karena pada musim penghujan seperti ini, kayu bakar yang kering sukar untuk didapatkan.
              Ajipun termenung melihat apa yang dialami di desanya. Kalau gas harus beli di kota tentu saja akan mahal karena harus membayar transpotasi. Begitu juga kalau menggunakan kayu bakar, akan sukar digunakan kalau musim penghujan. Begitu juga dampak dari penebangan pohon untuk dijadikan kayu bakar oleh orang yang tidak bertanggung jawab tentu saja akan menimbulkan kerusakan lingkungan.
“Aku harus berbuat sesuatu!”tekad Aji. Aji masih teringat dengan pelajaran yang diperoleh dulu. Salah satu dosennya mengajarkan tentang Energi alternatif. Pada mata kuliah Energi Alternatif pernah dipelajari kalau dari kotoran sapi dapat diubah menjadi biogas. Di desa ini banyak orang yang beternak sapi. Tentu saja desa ini sudah memiliki modal awal yaitu berupa kotoran sapi yang nantinya akan dijadikan sebagai bahan bakar.
              Aji bergegas pergi ke kamarnya. Diambilnya sebuah kardus yang berisi buku-buku waktu dia kuliah. Dengan seksama dia memeriksa tiap-tiap buku. Setelah beberapa jam dia mencari, akhirnya ditemukan lah buku yang ia maksud. Buku yang berisi tentang manfaat kotoran sapi dan pembuatan biogas. Buku itu juga menjelaskan cara membuat alatnya dengan detailnya. Aji tersenyum senang karena apa yang dia cari sudah didapatkannya. Aji pun langsung membuat alat dari barang bekas yang dapat digunakan untuk menampung kotoran itu. Dan dengan pengalamannya waktu  kuliah akhirnya jadilah kompor biogas yang berbahan bakar dari kotoran sapi. Dengar tersenyum puas Aji memandang hasil karyanya.
              Bapak dan ibu memperhatikan apa yang dilakukan  Aji.
Bapakpun bertanya:”Dari tadi aku dan ibumu memperhatikan kamu, memang kamu lagi buat apa Ji?”
Jawab Aji:”Eh, bapak , ini pak aku buat kompor biogas yang berbahan bakar kotor sapi. Jadi dengan alat ini kita tidak perlu lagi membeli gas. Kita kan punya enam ekor sapi kan Pak? Kotoran itu cukup untuk bahan bakarnya.”
Bapakpun terkagum-kagum dengan kompor buatan anaknya.
“Wah , hebat juga alat buatanmu ini nak.”puji bapak.
 “Ah, ini semua kan juga berkat bapak dan ibu yang mau membiayai kuliahku. Inilah saatnya ilmu yang kuperoleh kuterapkan.  Oh ya pak ampas dari kotoran yang sudah dipakai, masih bisa digunakan untuk pupuk.”terang Aji kepada bapaknya.
“Wah jadi ladang dan sawah kita tetap subur ya Ji.”
“Betul pak.”
Ajipun memberi penjelasan tentang cara membuat, cara kerja dan mengoperasikan kompor biogas tersebut. Tak mereka duga, dari mulut ke mulut para tetangga mendengar percakapan Aji dan bapaknya. Mereka tertarik dan mendengarkan penjelasan Aji.  Mereka berbondong-bondong melihat alat yang yang sudah dibuat Aji. Mereka sangat tertarik dengan kompor buatan Aji.  Mereka meminta dibuatkan kompor itu. Banyak penduduk desa itu dan juga desa tetangga yang pesan kompor biogas ke Aji. Mereka juga memberikan imbalan yang pantas untuk Aji atas jerih payahnya. Apabila mempunyai masalah dengan kompor biogasnya, para penduduk tidak segan meminta bantuan Aji untuk memperbaikinya.
              Berkat kompor biogas buatan Aji, penduduk di desa Aji banyak yang sudah menggunakan kompor tersebut. Mereka tidak lagi bingung untuk memasak. Karena selain murah, bahan bakarnyapun dapat mereka ambil dari kandang-kandang mereka sendiri. Banyak yang memuji kepandaian Aji. Namun Ajipun menanggapinya dengan penuh kerendahan hati. Dia sangat senang ternyata dapat membantu sesamanya melalui ilmu yang dipunyai. Ajipun memutuskan untuk mengurungkan niatnya mencari kerja ke Jakarta. Ternyata di desa tenaga dan pikirannya masih sangat diperlukan untuk membangun desa. Desa masih mempunyai potensi yang harus digali. Inilah tugas pemuda seperti Aji. Kompor terus menyala, membuat Aji semangat berkarya.
             
Tri Sadono
Guru SD Negeri Margolelo
Kecamatan Kandangan
(Cerpen ini telah dimuat di Tabloid Lontar Bulan Maret 2013 Nomor 04 Th ke VI)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar