Hari ini adalah hari
yang bahagia buat Aji. Setelah berjuang selama 3 tahun terbayar lunas sudah.
Yah, hari ini adalah hari wisuda. Aji sudah lulus dari Jurusan Teknik Mesin,
Program Studi Teknik Konversi Energi dari salah satu Politeknik Negeri di Jawa
Tengah. Terpampang spanduk yang bertuliskan “Selamat datang dan sukses bagi
para wisuda” menyapa di luar auditorium. Semoga
harapan dalam spanduk itu tidak berubah dengan kata “ Selamat datang
Para Pengangguran baru”. Sekarang saatnya untuk menghadapi dunia yang
sebenarnya. Bukan sekedar teori, tetapi sudah kenyataan yaitu dunia kerja yang
penuh persaingan, penuh perjuangan, penuh taktik dan intrik.
Tentu
ini bukan akhir dari perjuangan akan tetapi merupakan awal dari perjuangan Aji
untuk meraih cita-cita. Kedua orang tua Aji juga bangga, anaknya sudah
diwisuda. Tidak sia-sia selama ini mereka membiayai kuliah Aji. Tidak ada yang
menyangka kalau seorang anak dari desa bisa melanjutkan pendidikan di jenjang
perguruan tinggi. Aji dilahirkan dari keluarga yang sederhana. Kedua orang
tuanya adalah petani. Selain bertani mereka juga bertenak sapi. Orang tua Aji
mempunyai 6 ekor sapi. Sejak masih duduk di sekolah dasar, Aji sering membantu
mencarikan rumput untuk makanan sapi-sapi milik orang tuanya. Aji tergolong
anak rajin dan nrimo. Dia dengan
senang hati selalu membantu orang tuanya tanpa mengeluh. Hal ini tentu saja
membuat kedua orang tuanya sangat menyayanginya.
“ Wah selamat Ji, kamu sudah lulus”.
Ucap kakeknya.
“
Terima kasih mbah.” Jawab Aji.
“Rencana kamu mau apa?” tanya Kakek.
“Tentu saja cari kerja mbah .”jawab Aji.
“ Kerja di mana Ji?” tanya Bu Lik Sinta
yang menemani kakek Aji.
“
Lha itu masalahnya Bu Lik, aku belum tahu. “ Sahut Aji.
Kakek pun berkata “ Kerja kok dicari to Ji, Kalau kerjaan sih
banyak...cabutin rumput di lapangan juga kerjaan., tapi siapa yang mau bayar?
Intinya kamu itu kan cari yang bayar bukan cari kerjaan.”
Jawab Aji:”Ya memang sih mbah, tapi kata orang
bijak uang bukan segala-galanya”.
“
Tapi segala-galanya pakai uang kan Ji” Sahut Kakek.
“Benar juga apa yang
dikatakan Mbah”gumam Aji dalam hati. Coba seandainya aku jadi orang kaya,
mempunyai harta yang berlimpah. Tak akan kekurangan secara materi, rumah, kendaraan,
uang pasti tersedia.” Ah, kenapa aku menghayal? Tapi apa salahnya menghayal?
Menghayal kan gratis” pikir Aji.
Sepulang dari wisuda, Ajipun temenung di dalam kamar.
Dilihatnya samir dan toga yang masih tergantung di kastok. Kedua benda itu
bukanlah sekedar hiasan dan tanda kelulusan, tetapi adalah tanda kalau
perjuangan dimulai. Dia teringat temannya yang kemarin ikut Job Fair. Mereka
mencoba melamar ke perusahaan-perusahaan yang besar. Tentu saja dengan harapan mereka mendapatkan penghasilan yang
besar. Timbulah kegalauan hatinya. Kalau dia ikut melamar bekerja di perusahaan
besar tentu saja dia harus pergi kekota besar. Dan meninggalkan segala
aktivitasnya di desa. Tidak lagi membantu bapak mencarikan rumput. Padahal
sekarang bapak sudah semakin tua. Tenaganya pasti akan terkuras apabila harus
mencarikan makanan untuk keenam sapinya.
Ketika Aji masih merenungkan apakah dia mau melamar
pekerjaan ke kota besar, tiba-tiba pintu kamarnya di buka oleh ibu.
“Ji, ada tamu. Katanya
temanmu dari Semarang.”
“Iya bu, sebentar lagi
Aji keluar.”
Ajipun keluar dari
kamarnya.
“Eh kamu Ris, tumben
kamu datang ke rumahku. Gimana kabar kamu?”Tanya Aji.
“Baik-baik aja Ji, iya
hitung-hitung reunian”.
“Ah kamu itu ada-ada
saja, reunian itu kalau sudah lama tidak ketemu. Lho kamu sama siapa kesini?”
“Haha.haha... iya
yah... aku sendirian. Begini Ji maksud kedatanganku ke sini, aku mau mengajak
kamu melamar kerja di Jakarta. Kamu mau?”Tanya Aris.
“Ya itulah yang selama
ini aku renungkan. Aku masih bimbang apakah aku harus mencari kerja ke kota.”
“Sebaiknya kita kerja
di kota Ji, kita dapat berkarir di sana dan dapat mempunyai penghasilan yang
besar. Lihat Amir Kakak kelas kita, dia sekarang sudah sukses kerja di sana.”
“Lalu siapa yang
mengurusi sapi-sapi orang tuaku?”
“Hahahha..Ji kalau
masalah Sapi kamu tidak usah kuatir. Bapakmu pasti bisa mengatasinya. Gimana
Ji? Mau kan kamu melamar pekerjaan bersamaku?”
“Ya baiklah, aku mau.
Lalu rencananya kapan kita berangkat ke Jakarta?”
“Senin depan saja,
nanti kamu aku jemput, soal tempat tinggal di Jakarta gampang karena aku punya
paman yang tinggal di sana.”
“Baiklah aku tunggu ya
Ris.”
“Sampai jumpa hari
senin, aku pulang dulu ya Ji.” Pamit Aris seraya menjabat tangan Aji.
“Hati-hati di jalan ya
Ris.”Pesan Aji seraya melambaikan tangan.
Setelah
mendapat masukan dari Aris, akhirnya Ajipun membulatkan tekad untuk mencari
pekerjaan di Jakarta.
“Aku harus segera mencari kerja!”pikir Aji.
Lalu Aji mengambil ijazahnya di lemari. Dipandanginya
ijazah itu. Tertera namanya lengkap dengan sebutan Ahli Madya. Nampak juga foto
Aji menggunakan dasi.
“Wah sebenarnya kalau berpakaian rapi begini
aku ganteng juga ya, beda ketika aku sedang mencari rumput untuk makanan
sapi-sapi bapak.”gumam Aji sambil tersenyum.
Lalu Aji mengambil transkrip nilainya. Dilihatnya transkrip
nilai itu dengan seksama. Terlihat deretan nilai yang bervariasi dari A sampai
D pada setiap mata kuliah. Aji memang tidak terlalu menonjol untuk prestasi
nilai kuliahnya. Dia tergolong anak yang biasa-biasa saja. Walaupun begitu dia bersyukur
masih dapat lulus dengan predikat yang memuaskan.
Keesokan harinya Aji akan segera menfotokopi
dokumen-dokumennya. Ijazah, KTP Akta kelahiran dan yang lain-lainnya sudah ia
persiapkan. Rencananya hari Senin depan, dia dan Aris akan mencari kerja ke
Jakarta. Ketika masuk ke ruang makan, dilihatnya meja masih kosong, tak ada
nasi atau lauk pauk. Aji lalu bertanya kepada ibunya, “ Ibu , apakah tidak
masak pagi ini?”.”Bukannya tidak memasak nak, tapi memang gasnya habis.
Sekarang ini di desa kita gas langka,”jawab ibu. Walaupun di desa, tapi
sebagian besar dari penduduk sudah memasak menggunakan gas. Ini karena mereka
sudah jarang menebang pohon sembarangan untuk dijadikan kayu bakar. Kalaupun masih
menggunakan kayu bakar, kebanyakan mereka mencari ranting yang kering. Orang di
desa Aji sudah perduli dengan lingkungan. “Sebentar lagi sudah matang masakan
ibu Ji, maaf agak lama karena kayunya agak basah”Kata ibu pecahkan lamunan Aji.
“Tidak apa-apa bu, aku sabar kok menunggu”jawab Aji. Aji juga maklum karena
pada musim penghujan seperti ini, kayu bakar yang kering sukar untuk
didapatkan.
Ajipun termenung melihat apa yang dialami di desanya.
Kalau gas harus beli di kota tentu saja akan mahal karena harus membayar
transpotasi. Begitu juga kalau menggunakan kayu bakar, akan sukar digunakan
kalau musim penghujan. Begitu juga dampak dari penebangan pohon untuk dijadikan
kayu bakar oleh orang yang tidak bertanggung jawab tentu saja akan menimbulkan
kerusakan lingkungan.
“Aku harus berbuat sesuatu!”tekad
Aji. Aji masih teringat dengan pelajaran yang diperoleh dulu. Salah satu
dosennya mengajarkan tentang Energi alternatif. Pada mata kuliah Energi
Alternatif pernah dipelajari kalau dari kotoran sapi dapat diubah menjadi
biogas. Di desa ini banyak orang yang beternak sapi. Tentu saja desa ini sudah
memiliki modal awal yaitu berupa kotoran sapi yang nantinya akan dijadikan
sebagai bahan bakar.
Aji bergegas pergi ke kamarnya. Diambilnya sebuah
kardus yang berisi buku-buku waktu dia kuliah. Dengan seksama dia memeriksa
tiap-tiap buku. Setelah beberapa jam dia mencari, akhirnya ditemukan lah buku
yang ia maksud. Buku yang berisi tentang manfaat kotoran sapi dan pembuatan
biogas. Buku itu juga menjelaskan cara membuat alatnya dengan detailnya. Aji tersenyum
senang karena apa yang dia cari sudah didapatkannya. Aji pun langsung membuat
alat dari barang bekas yang dapat digunakan untuk menampung kotoran itu. Dan
dengan pengalamannya waktu kuliah
akhirnya jadilah kompor biogas yang berbahan bakar dari kotoran sapi. Dengar
tersenyum puas Aji memandang hasil karyanya.
Bapak dan ibu memperhatikan apa yang dilakukan Aji.
Bapakpun bertanya:”Dari
tadi aku dan ibumu memperhatikan kamu, memang kamu lagi buat apa Ji?”
Jawab Aji:”Eh, bapak ,
ini pak aku buat kompor biogas yang berbahan bakar kotor sapi. Jadi dengan alat
ini kita tidak perlu lagi membeli gas. Kita kan punya enam ekor sapi kan Pak?
Kotoran itu cukup untuk bahan bakarnya.”
Bapakpun terkagum-kagum
dengan kompor buatan anaknya.
“Wah , hebat juga alat
buatanmu ini nak.”puji bapak.
“Ah, ini semua kan juga berkat bapak dan ibu
yang mau membiayai kuliahku. Inilah saatnya ilmu yang kuperoleh
kuterapkan. Oh ya pak ampas dari kotoran
yang sudah dipakai, masih bisa digunakan untuk pupuk.”terang Aji kepada
bapaknya.
“Wah jadi ladang dan
sawah kita tetap subur ya Ji.”
“Betul pak.”
Ajipun memberi
penjelasan tentang cara membuat, cara kerja dan mengoperasikan kompor biogas
tersebut. Tak mereka duga, dari mulut ke mulut para tetangga mendengar
percakapan Aji dan bapaknya. Mereka tertarik dan mendengarkan penjelasan Aji. Mereka berbondong-bondong melihat alat yang
yang sudah dibuat Aji. Mereka sangat tertarik dengan kompor buatan Aji. Mereka meminta dibuatkan kompor itu. Banyak
penduduk desa itu dan juga desa tetangga yang pesan kompor biogas ke Aji. Mereka
juga memberikan imbalan yang pantas untuk Aji atas jerih payahnya. Apabila
mempunyai masalah dengan kompor biogasnya, para penduduk tidak segan meminta
bantuan Aji untuk memperbaikinya.
Berkat kompor biogas buatan Aji, penduduk di desa Aji
banyak yang sudah menggunakan kompor tersebut. Mereka tidak lagi bingung untuk
memasak. Karena selain murah, bahan bakarnyapun dapat mereka ambil dari kandang-kandang
mereka sendiri. Banyak yang memuji kepandaian Aji. Namun Ajipun menanggapinya
dengan penuh kerendahan hati. Dia sangat senang ternyata dapat membantu
sesamanya melalui ilmu yang dipunyai. Ajipun memutuskan untuk mengurungkan
niatnya mencari kerja ke Jakarta. Ternyata di desa tenaga dan pikirannya masih
sangat diperlukan untuk membangun desa. Desa masih mempunyai potensi yang harus
digali. Inilah tugas pemuda seperti Aji. Kompor terus menyala, membuat Aji
semangat berkarya.
Tri Sadono
Guru SD Negeri Margolelo
Kecamatan Kandangan
(Cerpen ini telah dimuat di Tabloid
Lontar Bulan Maret 2013 Nomor 04 Th ke VI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar